Hilang hingga Bangkitnya Prambanan dalam Catatan Sejarah Kolonial

By Galih Pranata, Selasa, 5 September 2023 | 07:00 WIB
Abu vulkanik erupsi Gunung Kelud menyelimuti kompleks Candi Prambanan, di mana candi megah ini sempat hilang selama belasan tahun, sebelum akhirnya kembali ditemukan dalam catatan sejarah kolonial Inggris di Jawa. (Aloysius Budi Kurniawan/Kompas)

Nationalgeographic.co.idRatusan candi pernah dicatatkan dalam tinta emas sejarah peradaban bangsa Indonesia sebagai bukti keemasan peradaban kuno di Nusantara. Kekunaannya mengundang peneliti kolonial untuk membedahnya lebih dalam.

Salah satu candi yang pernah menghilang ialah Prambanan. Satu fakta yang tak terbantahkan bahwa keelokan arsitektur bangunan Candi Prambanan pernah runtuh dan menghilang bersama sejarah emasnya selama beberapa belas abad.

Setelah kepindahan pusat kerajaan Mataram Kuno, Brambanan—masyarakat kuno memanggilnya—laiknya bangunan renta yang tak terawat. Kemegahan dan keelokan arsitekturnya hilang diranggas waktu, termakan belukar yang runggut menutupinya.

Ketika menguatnya pengaruh kolonialisme di Jawa, upaya untuk menemukan bangunan-bangunan kuno mulai dilakukan. Hal ini pernah disebutkan dalam catatan sejarah kolonial yang terangkum dalam catatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta.

Catatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta, menyebutkan pada tahun 1733, seorang pegawai VOC bernama C. A. Lons, mengadakan kunjungan lawatan di berbagai tempat di Surakarta dan Yogyakarta.

Sebuah buku catatan yang diterbitkan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta, berjudul Membangun Kembali Prambanan, diterbitkan pada 2009, mengisahkan tentang kemunculan kembali Prambanan setelah pemindahan kekuasaan Mataram ke Jawa Timur.

"Ia mengunjungi sejumlah peninggalan-peninggalan bangunan di kraton Kartasura, Kota Gede, termasuk pula reruntuhan candi di sekitar Prambanan," demikian menurut lembaga itu.

C. A. Lons mencatat perjalanannya ke kawasan perkomplekan Candi Prambanan dengan baik, menyebutkan adanya bukit-bukit dimana bebatuan menyebul di puncaknya. Meskipun diragukan apakah dalam deskripsinya tersebut ia bercerita mengenai Candi Prambanan ataukah Candi Sewu.

"Sampai dengan sekitar awal abad ke-19, setidaknya tercatat sejumlah antiquarian Belanda membuat catatan deskriptif berupa gambar dan peta di sekitar Candi Prambanan," tulis lembaga itu.

Sejarah kolonial mencatat bahwa Cornelius di tahun 1805, diduga telah membuat lukisan candi-candi kuno di Kalasan, Sari dan Sewu, namun tidak ada catatan lain yang lebih jelas mengungkap tentang Prambanan.

Sebuah litograf reruntuhan Candi Sewu dekat Prambanan, sekitar tahun 1859. (British Library/Flickr)

"Pada 3 Agustus 1812, Raffles yang ketika itu berada di kediaman John Crafwurd yang merupakan Residen Yogyakarta, menceritakan minatnya pada candi-candi kuno di Jawa dan berniat untuk menelitinya. Salah satu candi yang pernah dia lihat adalah Prambanan," tulis Raffles dalam bukunya berjudul The History of Java yang terbit pada 1817.

Kala itu, Raffles bertemu dengan Tan Jin Sing, seorang Kapiten dari Cina di Yogyakarta yang juga telah banyak mengenal bangunan-bangunan kuno di sana. Tan Jin Sing menanggapi cerita Raffles dan mengatakan bahwa di sebuah desa di Yogyakarta terdapat sebuah candi besar.

Menurut catatan sejarah kolonial, "cerita itu diperoleh Tan Jin Sing dari salah seorang mandornya yang pernah melihat candi besar itu ketika sang mandor masih kecil," catat mereka.

Raffles akhirnya tertarik dan meminta Tan Jin Sing pergi ke sana untuk membuktikan hal tersebut. Tan Jin Sing pergi berkuda bersama mandor yang ia ceritakan kepada Raffles, Rachmat.

Selain itu juga, Sir Stamford Raffles memerintahkan C. Mackenzie dan G. Baker untuk melakukan survei dan deskripsi atas kekunaan di Candi Prambanan antara tahun 1812-1816.

Hasil laporan dari Mackenzie dan Baker pada akhirnya dijadikan sebuah rujukan, yang di kemudian hari ditindaklanjuti oleh Crawfurd sebagai perintis penelitian arkeologis Candi Prambanan.

Di tahun 1885, untuk pertama kalinya ljzerman melakukan pembersihan dengan menebang semak belukar dan pepohonan yang menutupi reruntuhan serta membersihkan bilik-bilik candi dari reruntuhan.

Selanjutnya, pada 1889, Groneman juga melakukan pembersihan terhadap reruntuhan, namun sayangnya, pembersihan tersebut justru membuat kondisi candi semakin memburuk.

Tatkala membersihkan reruntuhan, Groneman tidak melakukannya secara sistematis, ia hanya menata potongan batu yang memiliki bentuk sama dan membuang batu-batu yang sekiranya 'tidak' penting ke sungai Opak.

Kembali dikenalnya Candi Prambanan setelah sekian lama tertutup pepohonan dan tanaman belukar nun runggut berkat sejarah kolonial Inggris di Jawa, seakan menjadi kembalinya peradaban Jawa Kuno yang telah lama menghilang.

Selama kurun waktu 1920-an, ketika Candi Prambanan belum direncanakan untuk dipugar, tercatat sejumlah biro perjalanan wisata telah menawarkan candi ini sebagai tujuan kunjungan wisatawan Eropa.

Tampak Candi Prambanan disinari pancaran warna-warni bak menari-nari saat video Mapping ditayangkan (Lutfi Fauziah)

Sejumlah biro perjalanan wisata telah menawarkan Candi Prambanan sebagai tujuan kunjungan wisatawan Eropa khususnya. Sejumlah biro wisata dari Batavia dan Surabaya telah menerbitkan brosur panduan wisata yang terbit sekitar tahun 1900 dan 1918.

Di dalamnya telah memasukkan Candi Prambanan sebagai obyek yang layak dikunjungi. Brosur-brosur berilustrasi foto tersebut sudah memuat informasi singkat sejarah dan latar belakang agamanya yakni agama Hindu.

Kunjungan wisata tersebut juga didukung oleh semakin berkembangnya sarana transportasi berupa kereta api. Jalur rel yang menghubungkan Yogyakarta-Surakarta (Vorstenlanden) dengan Semarang, telah memudahkan wisatawan untuk menjumpa keelokan dan kemegahan Prambanan.

Geliat pariwisata yang dicanangkan pemerintah Hindia Belanda, memberikan pengalaman yang unik bagi wisatawan asing. Dari sini, pemerintah kolonial memulai industri pariwisata Candi Prambanan yang terus bertahan hingga hari ini.