Nationalgeographic.co.id—Ada banyak misteri yang terpendam di alam liar. Berbagai bakteri dan virus yang mungkin masih banyak belum diklasifikasi atau diketahui oleh manusia, bisa menjadi ancaman.
Keberadaannya yang sulit dan belum terdeteksi, menjadi ancaman bagi satwa liar di habitatnya. Satwa liar pun beradaptasi karena harus hidup berdampingan setelah ribuan hingga jutaan tahun lamanya.
Di satu sisi, penyakit dari alam liar mungkin bisa menyerang mereka begitu ganasnya, tetapi kondisinya tanpa disadari oleh manusia. Inilah yang menyebabkan manusia harus berhati-hati dengan satwa liar, karena dapat tertular penyakit zoonosis (penyakit yang berpindah dari hewan ke manusia).
Belakangan berbagai pihak mulai memlihara satwa liar, mulai dari pejabat sipil hingga pemengaruh. Mereka secara terang-terangan memelihara satwa liar, dan dijadikan konten di internet yang disaksikan oleh banyak orang.
"Followers dia banyak, fans dia banyak, dia juga sebagai figur yang dielukan—diadore—banyak orang. Jadinya, banyak yang ingin punya gaya hidup seperti itu," kata Davina Veronica, pemengaruh dan pegiat lingkungan dari Borneo Orangutan Survival (BOS) Foundation
"Dampaknya ya banyak juga yang ingin pelihara satwa liar juga dan otomatis perdagangan satwa liar terus berjalan karena adanya permintaan," tuturnya dalam gelar wicara Mencintai Satwa Liar Tidak Harus Memiliki yang diadakan oleh Belantara Foundation di Gedung Sarinah Jakarta pada Minggu 9 September 2023.
Yang paling mengkhawatirkan dari pemeliharaan satwa liar adalah merebaknya penyakit zoonosis. Satwa liar bisa menularkan penyakit yang sebelumnya tidak diketahui oleh para ilmuwan.
"Ini caranya macam-macam [untuk menularkan]," kata Nur Purba Priambada, dokter hewan dari Asliqewan (Asosiasi Dokter Hewan Satwa Liar, Akuatik, dan Hewan Eksotik Indonesia). "Mereka bisa gigit, mereka bisa mencakar, dan lain-lain."
"Terus penyakit juga bisa menular dengan gampang, dengan enggak ngapa-ngapain saja, ketika di dalam ruangan yang sama dengan agen penyakitnya yang menempel dari mereka bisa menyebar," tuturnya dalam forum yang sama
"Bisa juga lewat kontaminasi, misalnya dari air liur, darah, kulit, kotoran, dan infeksi. Dan terkadang ada juga orang yang masih mengonsumsi [satwa liar]."
Dengan keberadaan satwa liar yang dipelihara oleh manusia, penyebaran penyakit zoonosis sangat mungkin terjadi. Hal ini menyebabkan pandemi berikutnya dapat merebak dan mengancam pada manusia.
Beberapa dari penyakit hari ini yang umum seperti tuberkulosis (TBC), hepatitis, dan rabies, sebenarnya merupakan zoonosis. Bahkan penyakit-penyakit tersebut berasal dari hewan peliharaan yang lebih dari 10.000 tahun didomestikasi manusia.
"Itu hewan domestik yang sudah 12.000 tahun kita domestikasi, masih ada sampai sekarang [penyakit zoonosisnya], apalagi satwa liar yang gagal terdomestikasi. Itu masih banyak penyakit lain," ujar Purba.
Menurut WHO dalam rilis Januari 2022, 70 persen dari penyakit infeksi berbahaya (emerging infectious disease). Penyakit zoonosis ini masih menjadi tantangan, terutama di Indonesia karena masyarakatnya yang memelihara satwa liar dan pemukiman yang menggerus habitat satwa liar.
"HIV sendiri itu pun hasil dari mutasi penyakit zoonosis, lalu antraks, SARS, kita jangan lupa juga yang terakhir-terakhir, Covid-19 itu juga masih ada tendensi dari penyakit zoonosis," terang Purba.
"Dan kalau kita lihat secara sejarah umat manusia, wabah yang memakan umat manusia sampai banyak yang meninggal itu umumnya penyakit zoonosis," tambahnya.
"Jadi sebahaya itu, hanya karena kita enggak bisa lihat karena agen penyakitnya kecil, dan satwanya mungkin enggak sakit juga, kadang-kadang tidak menunggu gejala, tau-taunya menularkan penyakit, tau-taunya mati, tau-taunya kita yang sakit."
Pemelihara satwa liar lengah akan kesehatan dan kesejahteraan hewan. Berbeda dengan konservator, dokter hewan, dan peneliti hewan di penangkaran rehabilitasi. Penangkaran yang nantinya akan melepasliarkan satwa liar, mengharuskan siapapun yang akan berinteraksi untuk terbebas dari penyakit.
Davina pun bercerita bahwa dirinya di BOS Foundation harus melewati berbagai pemindaian. Dia kerap membantu pelepasliaran orang utan. Orang utan memiliki 97 persen DNA dengan manusia, membuatnya memungkinkan menularkan penyakit kepada manusia dan sebaliknya.
Dampak penularan penyakit dari manusia ke hewan juga harus diperhatikan, karena bisa mengancam upaya konservasi.
"Salah satu tempat rehabilitasi orang utan BOS Foundation yang ada di Kalimantan Timur itu ada dibuat ini tempat rehab untuk orang utan [terinfeksi] TBC. Jadi orang utan ini terinfeksi TBC dari manusia," ungkap Davina.
"Ketika terinfeksi TBC nya dari manusia itu, dia tidak bisa menyembuhkan sendiri jadi dia akan selamanya di pusat rehabilitasi. Karena ketika dia sampai ada di alam, dia akan menularkan [orang utan] yang lain."
"Kalau gak salah 40 orang utan, itu sampai saat ini tidak bisa dilepasliarkan dan itu mereka dapatnya semua [penyakitnya] dari manusia. Itu sedih sih, sedih banget."