Nationalgeographic.co.id—Pihak berwenang di Indonesia harus bertindak untuk menegakkan undang-undang perlindungan satwa liar guna melindungi hiu paus yang terancam punah, kata seorang profesor di Oxford Brookes University.
Hiu paus adalah ikan terbesar di dunia dan betinanya dapat tumbuh hingga panjang 15 meter dengan berat 15 ton atau lebih. Meskipun ukurannya yang besar membantu melindungi mereka dari predator, hiu paus tetap menghadapi risiko dari komunitas nelayan di Jawa, pusat politik, ekonomi dan industri di Indonesia, kata Vincent Nijman, Profesor Antropologi di Oxford Brookes University di Inggris.
Profesor Nijman, yang juga mengepalai Oxford Wildlife Trade Research Group, telah mengunjungi Indonesia dan mengumpulkan data mengenai masalah ini selama lebih dari dua dekade. Penelitiannya sebagian didasarkan pada foto dan video yang diposting oleh masyarakat di media sosial dan online yang menunjukkan hiu paus ditangkap, disembelih, dan diperdagangkan.
Profesor Nijman mengatakan, “Banyak negara, termasuk Indonesia, telah memberikan perlindungan hukum terhadap spesies ini dan secara internasional terdapat beberapa perjanjian untuk melestarikan hiu paus."
“Dari 58 terdamparnya hiu paus di pesisir pantai Jawa, terlihat banyak hiu yang terdampar dalam kondisi belum dewasa, berukuran panjang hanya enam hingga tujuh meter, tetapi beratnya masih di atas dua ton," lanjut Nijman seperti dikutip dari keterangan tertulis Oxford Brookes University.
“Jelas juga peristiwa terdampar lebih banyak terjadi pada bulan Agustus hingga September, di akhir musim kemarau. Rata-rata, satu hingga dua lusin hiu paus terdampar setiap tahunnya di sepanjang pantai Jawa."
“Meskipun sebagian dari hiu paus yang terdampar dikembalikan ke laut, baik dalam keadaan hidup atau mati, atau ditinggalkan di pantai untuk membusuk secara perlahan dan berperan dalam siklus nutrisi, banyak pula yang berakhir dalam perdagangan.”
Profesor Nijman mengatakan hiu paus berbeda dari banyak spesies hiu lainnya karena mereka adalah pemakan filter dan memakan plankton. Oleh karena itu, mereka tidak berbahaya bagi manusia, dan juga tidak bersaing dengan nelayan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang berharga.
Nijman mengatakan, “Dengan sikap ramahnya, hiu paus semakin diakui sebagai makhluk yang lebih berharga saat hidup ketimbang mati. Di daerah tempat spesies ini sering berkumpul, wisatawan dapat melihatnya dari perahu atau diberi kesempatan untuk berenang bersama raksasa ramah ini."
“Ketika dibunuh, mereka masing-masing hanya menghasilkan beberapa juta rupiah untuk komunitas nelayan," tambah Nijman. "Tidak ada alasan untuk mengambil keuntungan dari hiu paus dengan cara ini, tetapi sampai ada penegakan hukum yang aktif, masyarakat akan terus menangkap dan menjualnya.”
Chris Shepherd, direktur eksekutif Monitor Conservation Research Organisation di Big Lake, Kanada, dan tidak terlibat dalam penelitian tersebut, mengatakan, “Meskipun tampaknya sia-sia jika tidak menggunakan daging dan minyak hiu paus yang ditangkap, membiarkan perdagangan tersebut berlanjut sama saja memberikan tekanan tambahan pada populasi hiu paus yang hidup di lepas pantai Jawa dan memberikan insentif bagi nelayan untuk terus menargetkan spesies tersebut meskipun statusnya dilindungi secara hukum di Indonesia."
“Ada alasan mengapa Indonesia memasukkan spesies ini ke dalam daftar spesies yang dilindungi, dan mengapa secara global terdapat banyak perjanjian untuk melestarikan spesies ini," kata Shepherd.
Jadi menurut Shepherd, "membiarakn perdagangan bagian tubuh hiu paus terus berlanjut, seperti yang terjadi di sepanjang pantai selatan Jawa, berarti melemahkan upaya ini.”
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.