Kekuasaan ayah atas keluarganya hanya berakhir dengan kematiannya, namun dalam kasus tertentu, ia dapat membebaskan seorang anak melalui emansipasi dalam sejarah Romawi kuno.
Ketika putrinya menikah, dia tidak lagi berada di bawah kekuasaannya. Namun, dia kemudian menyerahkan diri ke dalam wewenang suaminya, sehingga keadaannya tidak menjadi lebih baik.
Selain hak-hak mereka berdasarkan hukum, ayah juga mempunyai tugas dan tanggung jawab hukum. Salah satu undang-undang Romawi mengharuskan setiap anak yang 'jelas cacat' harus dihukum mati, namun karena orang dewasa penyandang disabilitas ada dalam masyarakat Romawi, jelas bahwa dalam hal ini pilihan pribadi mempunyai bobot yang sama besarnya dengan aturan ketat dari undang-undang Romawi.
Meskipun patria potestas mungkin bersifat mutlak pada masa-masa awal Kekaisaran Romawi, seiring berjalannya waktu, hak-hak yang melekat padanya semakin berkurang karena tidak digunakan.
Kemampuan ayah untuk membunuh anak-anaknya dihapuskan, rentang hukuman yang tersedia baginya dikurangi dan haknya untuk menjual anak-anaknya sebagai budak dibatasi sehingga hanya dapat dilaksanakan dalam kasus-kasus yang sangat mendesak.
Pada masa pemerintahan Kaisar Hadrian (117-138), kekuasaan ayah atas kehidupan anak-anaknya telah dilemahkan sedemikian rupa sehingga seorang ayah yang membunuh putranya kehilangan kewarganegaraan Romawinya, harta bendanya disita, dan ia dikirim ke penjara.
Dalam kasus yang ekstrim, hal ini dapat mencakup kekuasaan untuk menjual anak-anak sebagai budak atau bahkan membunuh mereka, meskipun tindakan tersebut umumnya tidak disukai dan dapat menyebabkan pengucilan sosial.
Kekuasaan ayah meluas hingga anak yang dilahirkan dalam sebuah keluarga dianggap berada di bawah kepemilikan ayah, seperti halnya harta benda. Konsep ini bukan sekadar simbolis, namun mempunyai implikasi hukum yang nyata.
Meskipun studi kasus spesifik dari zaman Romawi kuno tidak terdokumentasi dengan baik seperti yang diharapkan, konsep Patria Potestas sering dirujuk dalam berbagai teks sejarah, dokumen hukum, drama dan puisi.
Salah satu contoh paling terkenal dapat ditemukan dalam tulisan sejarawan Romawi Livy, yang menceritakan kisah Lucius Junius Brutus.
Brutus memimpin pemberontakan melawan raja Romawi Tarquin yang Bangga dan berperan penting dalam pendirian Republik Romawi.
Namun, ketika ia mengetahui bahwa putra-putranya sendiri terlibat dalam rencana pemulihan monarki, Brutus, dalam kapasitasnya sebagai ayah dan konsul, memerintahkan eksekusi mereka.
Tindakan ini dipandang sebagai ekspresi tertinggi Patria Potestas, di mana wewenang dan tanggung jawab ayah terhadap keluarganya dijalankan sepenuhnya, bahkan dengan mengorbankan tragedi pribadi.
Contoh lain datang dari bidang hukum, khususnya Dua Belas Tabel, sebuah kode kuno yang menjadi landasan hukum Romawi.
Salah satu undang-undang secara eksplisit memberikan hak kepada ayah untuk "membuang" bayi yang baru lahir jika bayinya cacat, yang pada dasarnya mengizinkan pembunuhan bayi di bawah payung Patria Potestas.