Nationalgeographic.co.id—Kisah Raja Arthur, Merlin, dan juga Pedang di Batu, menegaskan hubungan kuat antara Abad Pertengahan Eropa dan Sihir. Namun sihir seperti apa yang dipercayai orang-orang kala itu? dan bagaimana mereka memandang para pelaku sihir?
Seperti yang kita ketahui, Gereja memiliki pandangan yang kurang baik terhadap praktik sihir. Atau, lebih spesifik setidaknya jenis ilmu sihir yang terkait dengan penyihir dan pemujaan setan.
Dilansir pada laman Owlcation, Matthew Flax menjelaskan, Kristenisasi Eropa selama abad ke-8 dan ke-9 menunjukkan upaya keras untuk membasmi kepercayaan pagan.
“Kaisar Romawi Suci Charlemagne mengutuk sihir dan, pada tahun 789, menyatakan bahwa semua penyihir dan penyihir di seluruh kerajaannya harus bertobat atau dihukum mati,” jelasnya.
Kekuatan Para Orang Suci Abad Pertengahan
Konon, Gereja dengan senang hati memasukkan praktik-praktik pagan tertentu, mengubah namanya menjadi Kristen.
Matthew mencontohkan, Pseudo-Apuleius Herbarium, sebuah karya abad ke-5 tentang pengobatan herbal, pada awalnya memohon kekuatan "Dewi Bumi Suci", tetapi Gereja menggantinya dengan doa Tuhan.
“Kekuatan tertentu di masa lalu merupakan wewenang pengguna sihir pagan, seperti mengendalikan cuaca, justru dikaitkan dengan orang-orang kudus,” kata Matthew.
Terdapat sebuah klasifikasi untuk hal supranatural berupa pengobatan. Orang-orang kala itu menganggapnya sebagai “sihir putih”. Contoh sihir putih termasuk jamu, dan penggunaan benda-benda religius untuk menangkal kejahatan.
Di sisi lain, terdapat istilah ilmu hitam yang merujuk pada para penyihir jahat dengan tujuan hal-hal negatif seperti mencelakakan orang.
Ini adalah lereng yang licin bagi sebagian orang. Sebagai contoh, dukun yang pengobatannya berhasil dapat dilihat sebagai melakukan pekerjaan yang saleh.
Di sisi lain, jika pengobatan mereka gagal, mereka dapat dituduh sebagai penyihir yang menggunakan sihir untuk memperburuk kondisi pasien.