Pertahanan Kekaisaran BizantiumSelama periode perseteruan dengan Kekhalifahan Islam, Kekaisaran Bizantium cenderung menolak penyebaran Islam dan bertahan dengan pendekatan militer.
Sementara para khalifah selalu memimpin serangan tahunan ke Anatolia Bizantium, mendorong penduduk pedesaan Bizantium untuk mencari perlindungan dari ancaman yang terus-menerus.
Selain akibat wabah penyakit dan invasi Sassanid pada abad-abad sebelumnya, penduduk Kekaisaran Bizantium terus menerus menghadapi tekanan.
Meskipun serangan-serangan ini biasanya lebih kecil dan ditujukan untuk menangkap tawanan, khalifah Umayyah dan Abbasiyah kadang-kadang melancarkan serangan besar-besaran yang menembus jauh ke jantung Anatolia. Seperti yang terjadi pada tahun 782, 806, dan 838.
Di masa lalu, Anatolia Bizantium merupakan wilayah yang berkembang pesat dan banyak mengalami urbanisasi.
Namun karena tekanan yang tak henti-hentinya dari Kekhalifahan Islam, kota-kota Kekaisaran Bizantium menyusut dan berubah menjadi benteng-benteng yang dijaga ketat.
Meskipun beberapa petani Bizantium tetap bertahan, mereka juga menjadi termiliterisasi di bawah sistem Kekaisaran Bizantium. Mereka memberikan tanah kepada tentara sebagai imbalan atas dinas militer.
Sementara daerah perbatasan tidak berpenghuni, dibiarkan terpencil, dan dibentengi untuk mencegah masuknya Kehalifahan Islam.
Provinsi Anatolia Bizantium yang dulunya damai dan makmur kini telah menjadi teater perang yang tidak dapat dikenali lagi.
Daerah perbatasan menjadi sem tanpa hukum, dan Bizantium mempercayakan wewenang kepada Akritai, penjaga perbatasan yang bertugas melindungi dari masuknya penyebaran Islam.
Untuk menanggapi masuknya Kehalifahan Islam, Kekaisaran Bizantium menetapkan rutinitas tahunan di mana para petani mencari keamanan di kota-kota berbenteng sementara tentara melacak pasukan Kehalifahan yang masuk ke wilayah mereka.
Namun demikian, Kekhaisaran Bizantium menyadari kelemahan dan inferioritas mereka dalam pertempuran di lapangan terbuka jika ingin mengusir Kekhalifahan Islam. Maka Kekaisaran Bizantium mengadopsi strategi serang dan lari, strategi yang dianggap cukup efektif.
Perseteruan kedua peradaban ini terus berlanjut hingga berabad-abad kemudian, setidaknya perseteruan Kekaisaran Bizantium dan Kekhalifahan Islam berlangsung hampir 9 abad dengan pasang surut wilayah.
Hingga kemudian Kekaisaran Bizantium melemah, puncaknya penjarahan Kota Konstantinopel oleh Tentara Salib. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Sultan Muhammad Al Fatih yang kemudian mengambil alih Kota Konstantinopel pada 29 Mei 1453.