Nationalgeographic.co.id—Di kampung pesisir Werur, birunya laut begitu terhampar luas sejauh mata memandang hingga Samudra Pasifik. Ombaknya bagai menampar pesisir dan mengikis pasir pantai yang tinggi.
Tahun 2018 dan 2019, BNPB Kabupaten Tambrauw membangun tanggul secara bertahap di tepi pantai untuk mencegah abrasi yang disebabkan air pasang. Anak-anak di Kampung Werur sering bermain-main di atasnya atau di dekat tanggul. Namun, tanggul tersebut tidak menutupi pesisir kampung sepenuhnya, sehingga abrasi terus memakan kawasan pesisir.
"Dulunya laut tidak sedekat ini. Masih jauh lagi di depan sana," kata Fera Ramar kepada saya sambil menunjuk tanggul penahan ombak. Dia adalah seorang guru di SD YPK Imanuel Werur. Saat itu, saya berjumpa dengan Fera pada acara adat Festival Munara Beba Byak Karon pada 22 Maret 2023.
Werur adalah salah satu kampung di Distrik Bikar, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya. Sebagian dari masyarakat yang tinggal di sini merupakan suku Byak Karon yang tinggal sejak berabad-abad silam setelah bermigrasi dari Pulau Biak.
Pada masa lalu, kampung ini menjadi basis perlawanan Sekutu dalam upaya mengusir Kekaisaran Jepang di penghujung Perang Dunia II. Peninggalannya masih terpendam di bawah pasir pantai Kampung Werur.
Tidak jarang, ombak yang menyebabkan abrasi, mengungkap berbagai peninggalan bersejarah itu. Warga kampung menjadikan temuan mereka sebagai koleksi atau perabotan rumah mereka.
Laut dan pesisir Tambrauw menyimpan ragam kekayaan kehidupan bawah laut yang dilindungi, salah satunya penyu belimbing. Kelestarian alam laut sempat terusik dengan aktivitas perikanan yang berbahaya seperti pengeboman dan penggunaan jaring yang menjadi sampah lautan.
Bahkan, penyu belimbing sendiri memiliki tantangan dalam konservasi. Reptil ini sering mampir ke pesisir Tambrauw untuk bertelur. Begitu kembali melaut, telur mereka yang sudah dikubur dalam pasir sering diambil babi liar atau biawak. Masyarakat tidak mengganggu penyu belimbing, bahkan memuliakannya.
Sebagai guru dengan latar belakang sarjana sosiologi, Fera menyadari bahwa potensi laut begitu kaya untuk kesejahteraan masyarakat Werur. Salah satu cara yang dapat dilakukan Fera adalah dengan kemampuannya sebagai pengajar dengan memberikan pendidikan lingkungan hidup.
Inisiasi ini pun dilakukan bersama empat guru lainnya untuk diajarkan kepada anak-anak sejak 2020. Baru pada 9 April 2022, mereka menamai kelompok pembelajaran di luar sekolah tersebut sebagai Fandun Farkor.
Keberadaan mereka langsung disambut antusiasme warga sebagai sarana meningkatkan literasi di Werur. Sampai hari ini, Fandun Farkor menjadi tempat belajar bagi 30 anak di kampung. Sebagian dari anak-anak yang ikut belajar berasal dari kalangan yang putus sekolah. Tidak jarang, orang tua pun terlibat dalam aktivitas pembelajaran.
Awalnya, kelompok Fandun Farkor hanya mendampingi anak-anak lewat pendekatan pendidikan di gereja. Oleh karena itu, ketika kelompok ini berjalan secara mandiri, materi agama yang selaras dengan literasi dan pendidikan lingkungan diajarkan kepada anak-anak.
"Kami mendirikan komunitas ini terkait karena kondisi yang kami hadapi di kampung ini (Werur)," tutur Fera yang kini merupakan ketua kelompok tersebut. "Kondisi anak-anak yang pada usia sembilan dan delapan tahun ke atas, yang kami hadapi ini anak-anak yang luar biasa untuk belajar."
Fera menerangkan, Fandun Fakor ini merupakan kegiatan di luar pembelajaran di sekolah. Tidak hanya memperkenalkan kepada anak-anak tentang lingkungan dan mencintai alam sekitarnya, tetapi berbagai aktivitas pembelajaran dilakukan.
"Kami termotivasi untuk membuat kelompok ini karena juga yang kami hadapi anak-anak di kampung ini usia delapan dan sembilan tahun ke atas, sampai bahkan ada yang 10 tahun itu belum bisa membaca," lanjutnya.
Sebagai kelompok yang tidak terikat dengan sekolah, Fandun Farkor awalnya hanya memberi pengenalan alam sekitar. Proses pembelajaran yang dilakukan berada di luar ruangan, salah satunya ke pantai. Dengan demikian, anak-anak dapat mengetahui fungsi flora dan fauna di sekitar alamnya dalam mempertahankan lingkungan pesisir.
Tidak lama setelah berdiri, kelompok ini digandeng oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) untuk mengajarkan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) kepada anak-anak. Dalam pembelajaran PLH, Fandun Farkor juga memiliki buku ajar terkait lingkungan, sekaligus materi untuk belajar membaca untuk anak-anak.
Buku ajar ini merupakan kurikulum untuk sekolah yang salah satunya diinisiasi oleh Nixon Watem, pengajar PLH di SD Negeri Awat, Raja Ampat. Anda dapat membaca lebih lengkap tentang kisahnya yang sebelumnya merupakan nelayan pengebom ikan yang menjadi pengajar konservasi di artikel kami sebelumnya.
Kurikulum ini kemudian dipakai dan disesuaikan oleh Fera dan rekan-rekannya di Fandun Farkor. Mereka kemudian mendapat tempat sekretariat di sekolah, yang juga mendukung pembelajaran dalam ruangan.
Yang terbaru dari Fandun Farkor pada Oktober, Fera dan rekan-rekan pengajar lainnya mengajak anak-anak ke Pulau Amsterdam. Pulau itu tidak jauh dari pesisir Werur, hanya sekitar 15 menit dengan perahu nelayan.
Pulau Amsterdam (Pulau Besar) merupakan bagian dari kawasan lindung yang dijaga oleh masyarakat hukum adat (MHA) Byak Karon. Kawasan lindung ini telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat Nomor 13 tahun 2019.
Pada 25 Maret 2023, masyarakat adat Byak Karon menetapkan Pulau Amsterdam bersama 12.000 hektare daerah laut di sekitarnya sebagai zona sasi. Selama sasi ditutup, siapa pun tidak diperbolehkan mengambil hasil laut. Masyarakat bisa mengambil dan memanfaatkan hasil laut ketika sasi dibuka selama beberapa hari.
Berkat penetapan, banyak ikan dan biota laut yang mudah dijumpai seperti teripang, kerang lola, beragam jenis ikan, dan terumbu karang. Kelompok Fandun Farkor memperkenalkan semuanya kepada anak-anak, beserta fungsinya pada ekosistem alam sekitar.
"Kami mengajar anak-anak untuk cinta lingkungan, untuk angkut-angkut sampah di pantai," kata Fera.
Fera menambahkan, dengan masyarakat adat pesisir Byak-Karon menghidupkan kembali sasi, kesadaran lingkungan laut turut kembali dalam upaya konservasi warga. Kini, saatnya ia bersama rekan-rekan di Fandun Farkor mendidik generasi muda untuk melanjutkan tongkat estafet perlindungan lingkungan laut dan pesisir sekitar.
"Potensi-potensi yang ada di sini, ke depannya akan selalu ada, dan akan dinikmati oleh generasi ke depan. Generasi anak-anak ini," tuturnya.
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.