Ketika Bangsa Arab Memberontak dari Pengaruh Kekaisaran Ottoman

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 4 November 2023 | 07:00 WIB
Pasukan Arab dari suku Uteiba berkemah di Nakhl Mubarak dekat Yanbu pada 1916. Mereka adalah pasukan nasionalisme Arab yang berusaha merdeka dari Kekaisaran Ottoman yang telah berdiri berabad-abad lamanya. (T.E. Lawrence)

Nationalgeographic.co.id—Nasionalisme di kalangan bangsa Arab menjadi alasan mengapa Kekaisaran Ottoman bubar awal abad ke-20. Semangat nasionalisme ini didorong oleh revolusi Turki Muda yang mengubah sistem monarki absolut menjadi monarki konstitusional.

Sistem Kekaisaran Ottoman yang baru disahkan 1908, dinilai sesat oleh kalangan Islam Wahabi. Aliran ini banyak dianut oleh bangsa Arab, terutama di Hijaz (pesisir Laut Merah Jazirah Arab).

Perubahan sistem ini memicu Insiden 31 Maret yang membuat Sultan Abdul Hamid II digulingkan dan diasingkan ke Istana Beylerbeyi hingga akhir hayat. Sultan ingin mengembalikan sistem monarki absolut yang didukung kalangan agamawan. Kepala negara Kekaisaran Ottoman diganti dengan Mehmed V dengan Wazir (perdana menteri) Ahmed Tevfik Pasha.

Hanya saja, sultan yang baru dianggap sebagai simbol belaka di tatanan Kekaisaran Ottoman. Pemerintahan betul-betul di bawah kendali tiga pasya, sehingga tidak begitu bergerak menyelesaikan permasalahan negara yang runyam.

Kondisinya diperparah dengan semangat pan-Turki, nasionalisme bangsa Turki yang muncul saat Kekaisaran Ottoman masuk dalam kancah Perang Dunia I. Gerakan ini membuat bangsa Arab menjadi masyarakat kelas dua. Pergerakan nasionalisme Arab tersebar luas di luar Turki mengingat kesamaan nasibnya.

Gerakan ini kemudian menjadi pemberontakan Arab. Awalnya, pemberontakan ini berskala kecil, dibantu oleh Keamiran Nejd dan wangsa Arab lainnya di pedalaman Jazirah Arab pada 1914. Kemudian bangsa Arab di Hijaz melawan dengan penggerak Amir Makkah Syarif Husain bin Ali.

Pada 1915, Inggris yang merupakan musuh Kekaisaran Ottoman dalam Perang Dunia I, membantu pergerakan Husain bin Ali. Husain bin Ali sering berkomunikasi dengna panglima perang Lord Kitchener yang berada di Kesultanan Mesir. Bantuan yang diberikan Inggris berupa senjata dan pendanaan rahasia. Bantuan ini membuat Husain bin Ali dapat mengerahkan pasukan.

Pemberontakan pertama pecah pada 1915 di Suriah. Masyarakat Arab yang tinggal nomaden di sini mendirikan kelompok perlawanan bernama al-Fatat. Husain bin Ali menyokong perlawanan ini.

Di Hijaz, pemberontakan besar dimulai pada 5 Juni 1916. Pasukan Amir Ali dan Faisal, putra Husain bin Ali, menyerang garnisun Kekaisaran Ottoman di Madinah. Tujuan pemberontakan ini adalah untuk merebut kota suci Madinah dan stasiun kereta api.

T.E. Lawrence dan para pemberontak Arab di Stasiun Muazzem, Kekaisaran Ottoman. Jalur kereta api yang menghubungkan Madinah dan Damaskus ini menjadi salah satu perlawanan bangsa Arab terhadap Kekaisaran Ottoman. (Digitised Leanne Rodgers-Gibbs)

Kereta api sangat penting. Sebelumnya pada 1908, Pemerintah Kekaisaran Ottoman membangun jalur kereta api Hijaz yang menghubungkan Madinah dan Damaskus. Jalur kereta api ini awalnya berguna untuk memobilisasi jamaah haji ke Makkah.

Namun, di sisi lain, memudahkan otoritas negara untuk memungut pajak, bea cukai, birokrat, dan tentara Kekaisaran Ottoman untuk meredam nasionalisme. Wangsa Hasyimiyah yang berkuasa di Hijaz menilai, proyek ini sebagai upaya negara untuk mengganggu urusan di daerah.

Saat Madinah bergelora, Husain bin Ali juga melakukan perlawanan pada 10 Juni di Mekah. Bersama pasukannya, Husain merebut kota dan mengusir garnisun Kekaisaran Ottoman. Sementara putranya yang lain, Abdullah, mengepung kota Ta'if.

Jeddah pun menjadi kancah perlawanan oleh berbagai wangsa Arab yang bersekutu dengan Husain bin Ali. Kota pelabuhan itu sangat penting, sehingga Angkatan Laut Inggris HMS Ben-My-Chree turut membantu pasukan Arab yang memberontak.

Kapal Inggris memborbardir benteng militer Kekaisaran Ottoman. Angkatan Udara Inggris ikut menyerang tentara Kekaisaran Ottoman yang berada di sisi daratan Jeddah. Kota penting ini akhirnya jatuh di tangan bangsa Arab, sehingga memudahkan akses untuk persenjataan senjata.

Dalam perlawanan terhadap kekaisaran, bangsa Arab menggunakan seragam Inggris dengan hiasan kepala Arab. Pergerakan meluas dengan Inggris yang sudah bisa memberikan sarana bantuan dari Sinai dan Irak.

Oktober 1916, Inggris mengirimkan misi militer untuk membantu kepemimpinan bangsa Arab dan komando tinggi Inggris di Mesir. Salah satu tokohnya adalah Letnan T.E Lawrence yang dikenal sebagai Lawrence of Arabia. Misi ini memberikan bantuan senjata modern Inggris untuk pasukan Arab melawan tentara Kekaisaran Ottoman, termasuk dalam menguasai Makkah dan Ta'if.

Thomas Edward Lawrence atau yang lebih dikenal sebagai 'Lawrence of Arabia' berperan penting dalam perlawanan bangsa Arab yang ingin merdeka dari Kekaisaran Ottoman. Kepandaiannya mengenai dunia Arab menjadi orang yang dipercaya oleh Amir Faisal bin Husein. (Public Domain)

Desember 1916, Jenderal Fakhri Pasha berusaha merebut kembali Yanbu. Tujuannya untuk menguasai kembali pelabuhan-pelabuhan Laut Merah yang dikuasai kelompok perlawanan Arab. Namun usahanya digagalkan oleh armada AL Inggris, bahkan ketika Fakhri mencoba merebut Rabigh sebulan berikutnya.

Faisal menjadikan Lawrence sebagai penasihatnya. Mereka berdua berhasil merebut pelabuhan Wejh. Selanjutnya, untuk menghentikan mobilisasi tentara Kekaisaran Ottoman, keduanya menghancurkan jalur kereta api Hijaz.

Di saat bersamaan, Inggris berencana menginvasi Palestina. Mereka bertujuan agar pemberontak sebagai upaya memutuskan jalur kereta Kekaisaran Ottoman. Dengan cara ini, pasukan Arab bisa menahan 12.000 tentara kekaisaran di Madinah.

Lawrence bergerak menguasai pelabuhan Laut Merah Kekaisaran Ottoman yang tersisa, Aqaba, pada Juni 1917. Kota ini menjadi markas baru bagi pasukan Faisal. Perlahan-lahan, pergerakan menuju utara, yakni Yordania dan Suriah.

Lawrence maju bersama pasukan nasionalis Arab di Damaskus. Pasukan Inggris di Mesir yang dipimpin Jenderal Sir Edmund Allenby masuk melalui Palestina dan Yordania hingga sampai ke Lebanon dan Suriah.

Keberanian Inggris memasuki kawasan ini berkat Perjanjian Sykes-Picot ( Mei 1916) yang menandakan kalahnya Kekaisaran Ottoman dalam Perang Dunia I. Perjanjian ini membagi beberapa bagian milik Kekaisaran Ottoman dengan Inggris, Prancis, dan Rusia. Damaskus akhirnya dapat dikuasai tentara Arab yang berbasis di utara pada 1 Oktober 1918.

Di suasana terjepit, Kekaisaran Ottoman yang dipimpin Sultan Mehmed VI menyetujui gencatan senjata.

Sementara, walau pemberontak Arab berhasil menguasai sejumlah kawasan, mereka belum benar-benar dapat merdeka karena harus berhadapan dengan Perjanjian Sykes-Picot. Bangsa Arab, khususnya di Palestina, Yordania, Irak, dan Kuwait, harus berhadapan dengan Inggris.

Ketegangan dengan Inggris kelak kembali meningkat, khususnya pada kawasan Mandat Britania di Palestina. Pada saat itu, permasalahan baru datang dengan kemunculan ideologi zionisme dari arah Eropa.