Nationalgeographic.co.id—Dekade ini, berbagai perusahaan yang beroperasi di Indonesia gencar terlibat dalam upaya pencegahan krisis iklim. Kepentingan pencegahan ini karena Indonesia merupakan salah satu negara yang akan sangat terdampak dari perubahan iklim.
Masyarakat di Indonesia pun menyadari dan khawatir akan dampak tersebut. Akan tetapi, sebelumnya, tata cara mengenai upaya menjaga lingkungan dan menghindari perubahan iklim belum merata.
“Diperlukan kolaborasi, dukungan dan komitmen multi-pihak, baik pemerintah, akademisi, sektor swasta, masyarakat, NGO maupun seluruh aktor kehutanan dan energi dalam rangka mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada tingkat nasional maupun global”, kata Dolly Priatna, Direktur Eksekutif Belantara Foundation.
Dia menerangkan dalam seminar nasional yang diadakan di Universitas Pakuan, Bogor, pada Senin, November 2023. Seminar nasional tersebut membahas pengenalan dan perkembangan perdagangan karbon di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Belantara Foundation.
Oleh karena itu, Dolly melanjutkan, upaya pencegahan krisis iklim dapat dimulai dari pihak yang memiliki swadaya besar seperti perusahaan. Salah satu upayanya dengan terlibat dalam perdagangan dan pajak karbon yang telah disetujui pemerintah.
Perdagangan karbon berawal dari kesepakatan dari Perjanjian Paris tahun 2015 untuk menurunkan emisi karbon. Negara-negara penghasil karbon terbesar harus berkontribusi, dan negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat harus turut membantu negara berkembang yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
Sebagai implementasi, Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021. Peraturan ini mengatur nilai ekonomi karbon pada kegiatan perekonomian di Indonesia agar berkontribusi dalam penurunan gas rumah kaca.
Rincinya, peraturan itu mengharuskan perekonomian untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secara suka rela sebesar 29 persen dibandingkan biasanya pada 2030. Usaha Indonesia juga didukung dengan 41 persen dari dukungan internasional.
Dalam upaya pemenuhan target NDC tersebut, sektor kehutanan diharapkan berkontribusi sebesar 17.4% dan sektor energi sebesar 12,5% dari total target NDC.
Selanjutnya, tata cara perdagangan karbon yang menjadi standar dipakemkan melalui Permen LHK No. 7 Tahun 2023. Desain ini menjadi dasar implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) pada setiap pemangku kepentingan.
“NEK sangat penting menjadi salah satu dari berbagai regulasi atau substansial yang akan dilakukan Indonesia termasuk di dalamnya dari berbagai sektor NDC," kata Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional pada Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Wahyu Marjaka.
"Tidak hanya menjadi ukuran komitmen Indonesia tetapi juga menjadi dasar-dasar keberlanjutan di berbagai pembangunan di Indonesia”, tambah Wahyu.
Dalam seminar tersebut terdapat berbagai informasi mengenai penerapan perdagangan karbon, mulai dari penghitungan, kegiatan yang harus dilakukan pemangku kepentingan, dampak pada lingkungan dan masyarakat sekitar, sertifikasi pada pelaku usaha yang melaksanakan upaya ini, dan cara perdagangan melalui bursa karbon.
“Perdagangan karbon dan mitigasi perubahan iklim sangat erat kaitannya, karena perdagangan karbon merupakan salah satu mekanisme berbasis pasar yang digunakan untuk mengurangi dampak perubahan iklim”, imbuh Dolly.
Investasi perdagangan karbon di Indonesia juga diupayakan melalui IDXCarbon. Edwin Hartanto, Kepala Unit Pengembangan Carbon Trading dan Inisitatif Baru Bursa Efek Indonesia menjelaskan, IDXCarbon menjadi sarana bagi pengusaha untuk penyedia modal dari perdagangan karbon.
"Harapan kami, selain kemudahan, keamanan, dan reliability, para pelaku perdagangan karbon akan memiliki fleksibilitas yang pada akhirnya akan mendorong perdagangan sesuai visi dan misi Pemerintah, OJK, dan Bursa Efek Indonesia," kata Edwin.
Meski berdampak positif sebagai upaya komitmen, perdagangan karbon masih memiliki kekurangan. Hal ini bisa terjadi jika implementasinya dijalankan secara optimal, seperti risiko campur tangan politik, kurangnya ketersediaan pasar karbon, dan jaminan efektivitas, fluktuasi harga dan ketidakpastian pasar, serta membutuhkan sistem pengawasan.
Melansir Betahita, pada praktiknya, perdagangan karbon justru menjadi greenwashing (tipuan pemasaran citra perusahaan terlihat ramah lingkungan yang palsu). Tidak jarang, citra hijau ini menjadi jalan menuju kegiatan yang merusak, dan berdampak negatif kepada masyarakat adat di pedalaman yang menjaga lingkungannya.
Masih ada banyak yang harus dibenahi oleh Indonesia untuk menciptakan lingkungan perdagangan yang kuat dan inklusif. Perekonomian jelas diperlukan bagi keberlangsungan negara. Namun, di satu sisi, pelestarian dan masa depan Indonesia mengurangi emisi yang nyata harus lebih matang lagi—bukan sekadar main-main citra ramah lingkungan semata.