Sejarah Dunia: Untung Besar Singkat Indonesia dalam Krisis Minyak 1973

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 14 November 2023 | 21:13 WIB
Simpang Susun Semanggi dengan lanskap Kota Jakarta pada 1976. Jakarta menjadi kota berkembang di Indonesia setelah pertumbuhan ekonomi yang melesat selama dekade 1970-an berkat krisis minyak yang sempat melanda sejarah dunia. (Divisi Humas Kepolisian Republik Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Dunia digemparkan dengan sikap negara-negara Timur Tengah yang tergabung dalam OAPEC (Organisasi Negara-Negara Arab Pengekspor Minyak Bumi) mengembargo ekspor minyak ke AS, Jepang, Inggris, Belanda, dan Kanada pada 1973. Tindakan ini diambil mereka sebagai sikap atas kelima negara mendukung Israel dalam Perang Yom Kippur.

Embargo ini menyebabkan kenaikan harga minyak dunia mencapai 300 persen dalam sejarah dunia. Organisasi negara-negara pengekspor minyak bumi lainnya, OPEC, juga turut dalam aktivitas ini. Hal ini menyebabkan kelangkaan BBM di negara-negara industri, di satu sisi menambah pemasukan devisa negara-negara produksi minyak.

Indonesia adalah salah satu anggota OPEC saat itu. Krisis minyak menjadi berkah tak terduga bagi Pemerintah Indonesia yang saat itu tengah mendorong peningkatan investasi. Selama dekade 1970-an, Indonesia mendapatkan bonanza atau masa ketika minyak memberikan keuntungan besar dua kali, yakni pada 1974 dan 1979.

Bonanza pertama pada 1974, mendorong Indonesia untung besar, sebagaimana dilansir dari Indonesia Baik. Saat itu harga minyak mencapai 481 persen di atas rata-rata dekade 1960-an.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Indonesia mengalami krisis tanaman pangan sejak 1968. Pada sektor pertanian, tanaman pangan beras sangat menurun sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Kondisinya semakin parah ketika tren iklim El Nino menerpa pada 1972 yang menyebabkan kekeringan parah dalam sejarah dunia. Kebijakan impor beras pun tidak bisa dilakukan karena kelangkaan di pasar internasional.

Krisis minyak pada 1973 menyebabkan pendapatan Indonesia melonjak pada 1974. AS dan Eropa yang tengah krisis minyak mencari jalan untuk mendapatkan pilihan alternatif. Indonesia yang memiliki kedekatan dengan Barat sejak 1967, menjadi jawaban kebutuhan energi mereka.

Diperkirakan pendapatan negara Indonesia pada 1974-1975 naik 619 persen, dalam laporan Tim Deputi I Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Angka ini melambung terlalu tinggi dari yang sebelumnya hanya Rp246,2 miliar pada periode 1969-1970. Sektor migas menjadi penyumbang hingga 75 persen pendapatan negara saat itu.

Tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi) dibangun sejak 1973 sebagai rencana pembangunan Presiden Soeharto. Krisis minyak yang terjadi dalam sejarah dunia menjadi pembawa udara segara pembangunan di Indonesia. (Jasa Marga Cabang Jagorawi)

Salah satu pihak yang untung dari krisis minyak 1973 adalah Pertamina. BUMN ini pada awalnya menjadi satu-satunya perusahaan milik negara yang berhak mengelola minyak dan gas bumi, termasuk eksplorasi, eksploitasi, dan pengolahan, pengangkutan, serta penjualan. Landasan ini berawal dari UU No.8 tahun 1971.

Presiden Soeharto bahkan memberikan tugas kepada Pertamina dalam rencana pembangunannya yang besar-besaran. Dari UU tersebut, Pertamina menjadi bagian penting dalam Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). 

Hanya saja, Pertamina yang dikuasai oleh rezim militeristik cenderung tertutup. Saat itu, Pertamina dengan Direktur Utama Ibnu Sutowo tidak melaksanakan peraturan tersebut. Bahkan, Pertamina tidak menjalankan pembayaran pajak dan menyetor keuntungan untuk devisa negara.

Sejak 1969, perusahaan negara tersebut telah disinggung media massa dengan kuatnya aktivitas korupsi. Kebiasaan ini berlanjut saat Indonesia mendapatkan momen emasnya dari krisis minyak. Petaka ini membuat Pertamina mengalami krisis hutang 1974-1975.

Perusahaan minyak Indonesia itu tidak dapat melunasi berbagai hutang jangka pendek yang kebanyakan "gali lubang tutup lubang". Melansir Tempo 29 Februari 1992, Pertamina mengemban hutang sebesar 10,5 miliar dolar AS yang telah jatuh tempo sekitar 1974-1975.

Konsorsium yang kebanyakan berbasis di AS ramai-ramai menagih hutang jangka pendek dan jangka panjang kepada Pertamina. Satria Permana dalam skripsi bertajuk "Badai di Tengah Oil Boom: Krisis Manajemen Keuangan Pertamina Tahun 1974-1975" mengungkapkan hutang yang ditagih sudah jatuh tempo.

pada 1975, Soeharto menginstruksikan perubahan besar pada Pertamina. Berbagai kewenangan seperti mengelola keuangan secara mandiri dan berbagai sistemnya dirombak. Setahun berikutnya, Ibnu Sutowo dan tujuh direktur Pertamina lainnya diberhentikan. Krisis Pertamina pun berangsur-angsur mereda.

Bonanza kedua dari minyak datang pada 1979. Penyebabnya masih disebabkan embargo minyak mentah di Timur Tengah, ditambah dengan dorongan Revolusi Iran 1979. Revolusi itu menyebabkan persediaan minyak Iran terganggu. Namun, sejarah dunia terkait pasar minyak kembali bertumbuh dengan permintaan yang melesat.

Angin segar ini menjadi sumber tidak disangka bagi Indonesia yang kedua kalinya setelah 1973. Upaya Pemerintah Indonesia saat masa awal Orde Baru untuk mengembangkan investasi tidak main-main. Terhitung dari bonanza pertama hingga kedua, pertumbuhan investasi meningkat drastis sebesar 3.296 persen.