Sejarah Dunia: Laris Manis Usaha Perdagangan Mayat di Inggris

By Sysilia Tanhati, Jumat, 17 November 2023 | 17:18 WIB
Dalam sejarah dunia, perdagangan mayat di Inggris cukup umum di era Victoria. Mayat-mayat digunakan oleh mahasiswa kedokteran untuk praktik. (William Hunter)

Nationalgeographic.co.id—Dalam sejarah dunia, perdagangan mayat di Inggris cukup umum di era Victoria. Mayat tersebut dibedah oleh mahasiswa kedokteran yang mempelajari anatomi.

Ketika orang miskin dimakamkan di Inggris pada abad ke-18 dan 19, kemungkinan mereka tidak akan beristirahat di dalam damai. Alih-alih tertidur selamanya di makamnya, jenazah orang miskin digali dan dibawa ke ruang operasi sekolah kedokteran. Para mahasiswa mempraktikkan operasi yang nantinya akan mereka lakukan pada pasien yang masih hidup.

Menggali mayat bisa merusak reputasi, tapi ada orang-orang yang berspesialisasi dalam menyediakan mayat bagi para calon dokter. Mereka mempunyai banyak nama: penjambret mayat, perampok makam, dan orang yang “membangkitkan” mayat. Bisa dikatakan bahwa orang-orang ini berjasa bagi kemajuan dunia kedokteran dalam sejarah dunia.

Ironisnya, pekerjaan mereka sebagian besar menyasar masyarakat miskin. Ketika permintaan meningkat, mereka pun akan mengutak-atik makam orang-orang miskin di Inggris.

Ilmu kedokteran semakin berkembang di Inggris pada abad ke-18

Dalam sejarah dunia, industrialisasi mengubah pertumbuhan populasi di kota-kota besar Inggris. Di saat yang sama, ilmu kedokteran juga mengalami metamorfosisnya sendiri. Pada tahun 1790-an terdapat sekitar 300 mahasiswa kedokteran di Edinburgh dan London, pusat studi kedokteran di Inggris. Pada tahun 1820-an jumlahnya meningkat menjadi lebih dari 400 di Edinburgh dan hampir 1.000 di London.

“Mahasiswa kedokteran di Inggris diharapkan untuk membedah sebanyak tiga mayat,” tulis Braden Phillips di laman National Geographic. Hal ini akhirnya meningkatkan permintaan akan jenazah “segar” untuk kelas anatomi. Sekolah-sekolah di Paris pada saat itu mempunyai sistem yang efektif untuk memastikan cukupnya mayat bagi setiap siswa. Pada tahun 1828, pendaftaran di sekolah-sekolah di London turun sebesar 20 persen. Orang Inggris pun mulai memilih sekolah-sekolah di Paris karena jaminan akses ini.

Namun di Inggris, ada metode yang diizinkan secara hukum untuk mendapatkan mayat. Metode tersebut diatur dalam Undang-Undang Pembunuhan tahun 1752. Hal ini memungkinkan mayat para pembunuh yang dieksekusi digunakan oleh ahli bedah untuk belajar. Aturan ini hanya mendatangkan rata-rata 10 hingga 12 jenazah per tahun, jauh di bawah jumlah yang dibutuhkan.

Secara tradisional, ahli bedah magang mungkin pergi ke kuburan untuk menggali mayat. Namun jika ketahuan, mereka akan menghadapi pembalasan dari kerabat dan kehilangan reputasi. Solusinya adalah mencari perantara untuk menyediakan jenazah secara diam-diam. Perampok makam akan menyediakan sejumlah mayat untuk mendapatkan imbalan finansial yang besar.

Sebagai perbandingan, pada tahun 1829, ketika Dinas Kepolisian Metropolitan London dibentuk, gaji mingguan awal untuk polisi adalah 21 shilling. Seorang penenun terampil di industri sutra di East End hanya mendapat penghasilan 5 shilling seminggu. Penenun itu bekerja 12 jam sehari, 6 hari seminggu.

Sedangkan mayat dapat menghasilkan 4 hingga 12 guinea. 1 guinea bernilai 21 shilling. Bahkan jika pendapatan tersebut dibagi di dalam kelompok yang terdiri dari 4 orang, tiap orang mendapatkan penghasilan yang lumayan.  

Harga sering kali bergantung pada kesegaran jenazah atau apakah jenazah tersebut memiliki kondisi medis yang menarik. Kelainan bentuk tubuh yang tidak biasa, misalnya, bisa membuat harga mayat meroket. Anggota tubuh yang sudah berkembang dengan baik dan masih segar lebih berharga daripada tubuh yang berada di ambang pembusukan. Mayat laki-laki dianggap lebih berharga untuk mempelajari otot.

“Menjual rambut dan gigi bisa menjadi usaha sampingan yang menguntungkan,” tambah Phillips.

Para perampok makam di Inggris dalam sejarah dunia

Karena mayat tidak dianggap sebagai “properti” di mata hukum, perampokan kuburan hanyalah sebuah pelanggaran ringan. Pelanggaran ini dihukum dengan denda atau hukuman hingga 6 bulan penjara.

Namun para perampok berisiko mendapat hukuman penjara yang lama jika mereka membawa barang-barang penguburan lainnya. Contohnya kain kafan, gagang peti mati, atau pakaian orang yang meninggal. Akibatnya, jenazah harus ditelanjangi sebelum dibawa.

Perampok makam secara tradisional menggunakan empat alat: sekop kayu, lentera, kait logam besar, dan tali. Setelah menggali peti mati, mereka memasang kait ke tutupnya untuk membukanya dan melihat jenazah di dalamnya. Mereka mengikatkan tali pada jenazah, yang kemudian diangkat keluar dari kubur.

Pekerjaan ini membutuhkan kekuatan tubuh bagian atas yang sangat besar. Para profesional mungkin membongkar sebanyak enam jenazah dalam satu malam. Mereka sering kali harus mengangkatnya melewati tembok kuburan.

Para perampok makam ini hanya menghadapi sedikit dampak hukum. Meski begitu, mereka sangat dibenci oleh masyarakat sehingga mereka harus merahasiakan aktivitas ini.

Pada akhir tahun 1820-an, pada puncak perdagangan, perampok makam penuh waktu merupakan kelompok eksklusif. “Mereka tidak menginginkan pekerja paruh waktu atau pekerja lepas memasuki bisnis ini. Para pekerja lepas dapat menurunkan harga dan bersikap tidak bijaksana,” kata sejarawan Sarah Wise. Pendatang baru akan menjadi hal yang merusak perdagangan ini.

Membunuh demi mendapatkan mayat

Pendapatan yang menggiurkan membuat sebagian orang tertarik dengan perdagangan mayat. Seperti William Burke dan William Hare, imigran Irlandia yang tinggal di Edinburgh bersama istri mereka pada tahun 1827.

Keduanya adalah buruh dan istri Hare mengelola sebuah rumah kos. Suatu hari, seorang penyewa yang menunggak uang sewa tiba-tiba meninggal. Karena tidak ada keluarga yang dapat mengeklaim jenazah tersebut, Burke dan Hare menjual jenazah tersebut kepada Robert Knox.

Knox adalah ahli anatomi terkemuka di kota tersebut dan rekan dari Royal College of Surgeons of Edinburgh. Saat mengajar, ia berjanji untuk menyediakan satu jenazah untuk setiap mahasiswa.

Setelah Knox membayar 7 pound dan 10 shilling untuk jenazahnya, Burke dan Hare melihat peluang. Terkesan dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, mereka mengambil cara cepat untuk mendapatkan mayat. “Mereka memilih untuk membunuh orang asing yang rentan,” ungkap Phillips.

Selama 10 bulan, pasangan ini membunuh sebanyak 16 orang dan menjual jenazah tersebut ke Knox. Setelah penangkapan mereka, Hare bersaksi melawan Burke dengan imbalan kekebalan. Burke dihukum dan digantung pada Januari 1829. Jenazahnya dibedah di depan umum dan kerangkanya dipajang di Museum Anatomi di Edinburgh Medical School.

Kasus ini memengaruhi reputasi Knox sehingga dia meninggalkan kota dan pindah ke London.

Karena mayat tidak dianggap sebagai “properti” di mata hukum, perampokan kuburan hanyalah sebuah pelanggaran ringan. Pelanggaran ini dihukum dengan denda atau hukuman hingga 6 bulan penjara. (Hablot Knight Browne)

3 tahun kemudian, para perampok makam di Bethnal Green diberi julukan London Burkers. Kelompok ini menggunakan rum dan laudanum untuk melumpuhkan korban sebelum membunuh mereka dan menjual tubuhnya.

John Bishop dan Thomas Williams ditangkap ketika mereka mencoba menjual mayat segar yang mencurigakan. Mayat yang dijual adalah mayat anak laki-laki berusia 14 tahun. Mereka menjualnya ke King's College School of Anatomy.

Setelah dilakukan penyelidikan, keduanya mengaku membunuh “anak laki-laki Italia”, sebutan untuk Charles Ferrari muda.

John Bishop dan Thomas Williams digantung pada bulan Desember 1831. Kejahatan London Burkers akhirnya memaksa Parlemen untuk mengubah undang-undang tersebut. Undang-Undang Anatomi tahun 1832 membuat jenazah orang miskin yang tidak diklaim dapat dibedah secara hukum. Undang-undang itu pun berpengaruh pada perdagangan mayat di Inggris.  

Nasib mayat

Tempat peristirahatan terakhir orang miskin yang digunakan di sekolah kedokteran Inggris sebagian besar masih menjadi misteri. Sekitar satu dekade yang lalu, beberapa kuburan mereka ditemukan di halaman Rumah Sakit Royal London yang didirikan pada tahun 1740.

Penggalian arkeologi menjelang proyek perluasan rumah sakit tersebut mengungkapkan kuburan yang telah lama terlupakan. Di dalam beberapa peti mati terdapat tubuh utuh, sementara yang lain berisi bagian-bagian yang tidak cocok. Ada juga peti mati yang menyimpan bagian-bagian tubuh yang sama.

Mayat-mayat tersebut menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang penuh kekerasan (banyak yang mengalami patah hidung), penggunaan tembakau, atau penyakit kronis. Banyak dari tulang-tulang tersebut menunjukkan tanda-tanda yang mungkin dibuat oleh dokter setelah dilakukan pemeriksaan mayat. “Ada bekas potongan gergaji, bekas pisau, dan lubang bor,” ujar Phillips. Semuanya bertanggal antara tahun 1825 dan 1841.

Berdasarkan bukti-bukti yang ada, para arkeolog menentukan bahwa orang-orang ini adalah sisa-sisa mayat sekolah kedokteran. Harus diakui, jenazahnya telah mendidik para dokter di Inggris dan mendukung perkembangan ilmu kedokteran dalam sejarah dunia.