Sejarah Dunia: Perempuan Turut Ambil Peran dalam Perang Dunia II

By Tri Wahyu Prasetyo, Rabu, 22 November 2023 | 08:00 WIB
Poster Rekrutmen Perang Dunia II. (Australia War Memorial)

Nationalgeographic.co.id—Perang Dunia II adalah salah satu perang terbesar dalam sejarah manusia. Meski penuh dengan kehancuran dan penderitaan, perang ini menjadi titik balik bagi peran perempuan dalam masyarakat. Mereka membuktikan kemampuan mereka dalam berbagai bidang.

Perang Dunia II melibatkan lebih banyak tentara dibandingkan perang sebelumnya. Menurut Sejarawan Matt Whittaker, dilansir dari laman The Collector, meskipun jumlah pastinya tidak diketahui, perkiraannya berkisar antara 70 juta hingga 100 juta orang.

Akibat angka yang tinggi ini, terjadi kesenjangan besar di berbagai industri dan bidang, baik sipil maupun militer. Perempuan dengan cepat mengambil peran di bidang-bidang ini.

“Selain peran tradisional seperti perawat atau sekretaris, banyak yang menjadi tukang las, pengemudi, pilot, atau bahkan tentara,” jelas Whittaker.

Sejak Perang Dunia I, perempuan telah bergerak menggantikan peran pria dalam berbagai posisi. Mereka mengambil posisi non-kombatan seperti juru tulis, pengemudi, perawat, dan pekerjaan berbahaya. Di Inggris perempuan bekerja di pabrik amunisi atau disebut “Munitionettes”. 

Ketika Perang Dunia II meletus, konflik yang jauh lebih besar, membutuhkan lebih banyak perempuan yang dipekerjakan daripada Perang Dunia I. Ribuan perempuan mencari pekerjaan.

Di masa itu, Whittaker menjelaskan, peran apa yang diambil perempuan berbeda-beda di setiap negara. Hal ini mengikuti kebijakan dari setiap negara. 

“Beberapa negara melarang perempuan untuk ikut berperang, seperti Inggris atau Amerika Serikat,” jelas Whittaker. “Uni Soviet tidak memiliki keengganan, dan banyak perempuan yang bertugas sebagai pilot, penembak jitu, dan bahkan kru tank.”

Di AS, 19 juta perempuan dipekerjakan, atau tiga puluh enam persen dari keseluruhan. Di Britania Raya, perempuan mendominasi industri-amunisi, kimia, dan perkakas mesin.

Ideologi Nazi secara aktif melarang perempuan dari segala hal kecuali peran domestik sebagai ibu dan pengasuh anak. Namun, Perang memiliki rencana lain–ribuan perempuan mengisi kekosongan mulai dari pekerja domestik hingga penjaga penjara, dan pekerja pertanian.

Perang Dunia II menawarkan peluang kepada perempuan yang tidak ada di Perang Dunia I. Teknologi baru menciptakan prospek seperti radar, dan peran-peran yang sebelumnya tertutup menjadi tersedia karena kebutuhan perang.

Perang Dunia II: Perempuan dalam Angkatan Udara

Lilya Litvyak, Katya Budanova, dan Mariya Kuznetsova adalah tiga jagoan yang ditakuti dari Resimen Tempur Wanita 588 Rusia, yang dipimpin oleh Olga Shirnina. (Museum Wright Perang Dunia II, Wolfeboro)

Radar, teknologi baru pada tahun 1940, membuka peluang bagi perempuan dalam Angkatan Udara Kerajaan Inggris Raya (RAF) sebagai plotter atau pengatur lalu lintas udara. Mereka bertugas mengarahkan pesawat tempur malam ke sasaran yang dituju. 

Para perempuan tersebut biasanya adalah perwira, memiliki kompetensi dan sangat terlatih. Selain itu, perempuan juga diterima dalam unit anti-pesawat terbang, mengoperasikan meriam dan lampu sorot.

Pada Perang Dunia Pertama, pesawat umumnya digunakan untuk pengintaian, pengawalan, dan hanya beberapa serangan udara. Pada Perang Dunia II pesawat menjadi sangat penting, dan memiliki pekerjaan yang kompleks.

Amerika serikat merupakan satu-satunya negara yang tidak mengalami serangan udara dari pesawat pembom musuh di wilayahnya saat perang. 

Sementara itu, Whittaker menjelaskan, di negara-negara lain, terutama di Inggris, perusahaan-perusahaan atau fasilitas-fasilitas penting menjadi target serangan udara musuh, sehingga perlu dilindungi.

“Di Inggris, 190.000 perempuan bertugas, sehingga memberi ruang bagi para pria untuk bertugas di garis depan,” kata Whittaker.

Perempuan dilarang terbang dalam Perang Dunia I, namun semuanya berubah ketiikat Perang Dunia II terjadi. Angkatan Udara Kerajaan Inggris dan Angkatan Udara Amerika Serikat dengan cepat mengorganisir badan militer baru pada tahun 1939: Air Transport Auxiliary (ATA) dan Women Airforce Service Pilots.

Poster Rosie the Riveter berjudul (Departemen Pertahanan AS)

Masing-masing membutuhkan setidaknya seratus jam pelatihan. Pilot perempuan mengangkut pesawat untuk diperbaiki, mengangkutnya ke tempat yang dibutuhkan, melakukan penarikan target, dan melakukan pemeriksaan penerbangan.

Perang Dunia II: Perempuan dalam Pekerjaan Industri

Peran industri di galangan kapal, pabrik, dan perkebunan membutuhkan pekerja perempuan, tidak seperti jumlah kecil yang dipekerjakan pada Perang Dunia I.

Mekanik, paku keling, dan tukang las perempuan mengisi kekosongan yang ditinggalkan atau diciptakan oleh permintaan masa perang. Yang lainnya, seperti pekerja kantin, menjadi sangat penting. 

“Ketika kekurangan tenaga kerja terjadi, pabrik amunisi yang selalu sibuk dan berbahaya, menjadi pekerjaan perempuan,” jelas Whittaker.

Perang Dunia II: Perempuan dalam Proyek Manhattan

Teknisi Proyek Manhattan. (Via National Historical Park)

Peran yang jarang diketahui namun sangat penting yang dimainkan oleh perempuan adalah Proyek Manhattan–program bom atom.

Selain pekerjaan administratif, perempuan juga menjadi teknisi untuk alat pengukur, pekerjaan laboratorium, dan ilmuwan. ilmuwan perempuan seperti Lilli Hornig dan Chieng Shung Wu berkontribusi pada program atom.

“Saran Lilli Hornig adalah alasan mengapa uji coba bom atom dilakukan di lokasi gurun dan tidak dekat dengan tempat yang padat penduduk,” jelas Whittaker.

Perang Dunia II: Perempuan di Garis Depan

Pasukan Udara Tentara Merah. (Public Domain/Wikimedia Commons)

Tidak semua perempuan bertugas di zona konflik langsung. Banyak perawat dari Amerika dan Inggris sering kali bekerja di belakang garis depan. Mereka merawat tentara yang dievakuasi, dan beberapa di antara mereka terbunuh dalam tugas mereka.

Whittaker menjelaskan, di Uni Soviet dan negara-negara yang diduduki, memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk bertempur. “Mereka menghadapi pertempuran, kematian, dan bahkan penyiksaan.”

Lebih banyak tentara perempuan dari Soviet yang terlibat dalam pertempuran dibandingkan dengan negara-negara lain.

“Perang Dunia II, terlepas dari biaya dan kehancurannya, mendobrak pakem tradisional bagi perempuan. Untuk pertama kalinya, mereka mengambil peran dengan sukses, membuktikan kemampuan mereka,” jelas Whittaker.