Nationalgeographic.co.id—Keanekaragaman hayati di Indonesia memiliki potensi bioaktivitas sebagai obat alami. Hal ini mendukung upaya pengembangan obat berbasis bahan alam yang relatif aman terhadap efek samping yang ditimbulkan.
Kepala Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional (PRBBOOT) Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sofa Fajriah, membenarkan bahwa potensi bioaktivitas bahan alam Indonesia masih banyak yang belum terekspos. Menurutnya, potensi tersebut perlu diangkat dan diteliti untuk menjadi bahan baku alami obat ataupun pemanfaatan lainnya, khususnya di bidang kesehatan.
“Peluang penemuan obat alami masih sangat besar apalagi jika didukung dengan kerja sama dan kolaborasi riset untuk menemukan bahan alam sebagai antijerawat, antidiabetes, dan antiinfeksi seperti yang akan dibicarakan oleh narasumber dalam webinar hari ini,” ujar Sofa saat membuka webinar PRBBOOT seri 9 pada pada 20 Desember 2023.
Perekayasa Ahli Madya PRBBOOT BRIN, Susi Kusumaningrum, mencontohkan bahwa untuk mengatasi jerawat, antibiotik sering menjadi pilihan. Namun, solusi tersebut tidak cukup ampuh mengusir jerawat.
Sebab, kemudian muncul resistensi terhadap antibiotik. Alhasil, bahan alam sebagai alternatif untuk mengatasi persoalan kulit sangat diperlukan.
Menurut Susi, mikropartikel kitosan, pengagan, dan kulit manggis adalah tiga bahan alami yang cukup ampuh meredakan jerawat. Ketiga bahan alami tersebut mempunyai aktivitas dalam menghambat pertumbuhan bakteri penyebab jerawat dan membantu penyembuhan luka.
“Kitosan adalah polisakarida yang diisolasi dari kulit udang dan kepiting yang memiliki sifat antimikroba dan menyembuhkan. Kitosan-estrak pegagan diyakini mengandung senyawa asiaticoside sebagai antilepra dan penyembuh luka. Sementara itu kitosan-ekstrak kulit manggis cukup ampuh mengobati infeksi kulit karena mempunyai kandungan senyawa aktif turunan xanton, a-mangostin dan gamma magostin,” imbuhnya.
Dalam penelitian yang dilakukan Susi bersama tim, aplikasi mikropartikel kitosan-ekstrak kulit manggis dan kitosan ektrak pengagan pada sediaan gel terbukti secara in vitro mampu menghambat pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes.
Sementara itu, Perekayasa PRBOOT BRIN, Indah Dwiatmani Dewijanti, menyebutkan ada 26 simplisia yang secara etnobotani diuji sebagai obat. Dari 26 itu, terseleksi delapan simplisia aktif setelah melewati uji in vitro, yaitu jamblang, cocor bebek, patikan kebo, kesumba keling, sukun, alpukat, salam, dan bungur.
“Hasil uji fitokimia dari delapan simplisia aktif tersebut mengandung senyawa fenol yang dapat menurunkan kadar glukosa,” ungkap Indah.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan, kadar glukosa darah tikus mencit setelah pemberian ekstrak jamblang dapat turun hingga 40% dari kadar gula darah awal. Uji toksisitasnya pun masih relatif aman. Begitupun untuk ekstrak daun sukun dan cocor bebek," paparnya.
Dari delapan simplisia tersebut, cocor bebek dapat menjadi pilihan yang paling mudah, karena metode reproduksinya mudah hanya dengan tunas. Pengujian in vitro ekstrak etanol daun cocor bebek memiliki aktivitas antioksidan, antimikroba, dan antidiabetes bervariasi, tergantung tempat tumbuh dan iklimnya.
Indah juga menambahkan bahwa beberapa tanaman gulma juga memiliki potensi sebagai antidiabetes. Di antaranya rumput teki, meniran, ciplukan, sawi langit, putri malu, pare leuweung, lenglengan, dan kentutan.
Selanjutnya untuk potensi bahan alam yaitu lalat buah sebagai model organisme dalam penemuan dan penggunaan obat antiinfeksi dan antiinflamasi juga dipaparkan oleh Firzan Nainu. Profesor dari Universitas Hasanuddin ini mengungkapkan, lalat buah adalah serangga yang memiliki sistem imunologi mirip dengan manusia, sehingga dapat dijadikan sebagai model mutan dan hewan uji coba.