Bagaimana Aturan Ketika Terjadi Perceraian di Sejarah Romawi Kuno?

By Hanny Nur Fadhilah, Senin, 15 Januari 2024 | 15:29 WIB
Perceraian di sejarah Romawi kuno, praktik yang diakui secara sosial dan hukum. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Perceraian di sejarah Romawi kuno merupakan sebuah praktik yang diakui secara sosial dan hukum. Hal ini berbeda dari banyak peradaban kuno lainnya dalam hal kemudahan dan aksesibilitasnya.

Dalam catatan sejarah Romawi kuno, pernikahan di zaman Romawi kuno merupakan interaksi kompleks antara norma-norma masyarakat, praktik budaya, dan mandat hukum. 

Bagi orang Romawi, perkawinan lebih dari sekadar hubungan pribadi atau kecenderungan romantis. Pernikahan dilakukan untuk stabilitas sosial, aliansi politik, dan kemajuan ekonomi. 

Pendekatan pragmatis orang Romawi terhadap pernikahan, yang menganggap persatuan sebagai kontrak ekonomi dan sosial, juga mencakup perspektif mereka mengenai perceraian.

Jika suatu perkawinan gagal memenuhi tujuan sosial atau pribadinya, perkawinan tersebut dapat dibubarkan. 

Secara hukum, prosesnya mudah. Pernikahan Romawi didasarkan pada persetujuan bersama. Demikian pula, perceraian hanya memerlukan niat salah satu atau kedua belah pihak untuk mengakhiri perkawinan dalam sejarah Romawi kuno. 

Perceraian di zaman Romawi telah berkembang sepanjang sejarah. Dengan berkembangnya negara Romawi, norma hukum yang mengatur masalah perkawinan pun mengalami transformasi.

Dengan berakhirnya republik, adat istiadat Romawi berubah dan hak untuk bercerai juga diberikan kepada perempuan tepatnya pada abad ke-2 SM. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh semakin intensifnya kancah politik Roma dan perebutan posisi di kalangan strata sosial atas.

Sejak awal, laki-laki berhak bercerai. Meskipun perceraian secara resmi diperuntukkan bagi suami hanya jika terjadi kesalahan perkawinan yang serius di pihak pasangannya.

Laki-laki sering kali memutuskan untuk menceraikan pasangannya jika terjadi perzinahan, ketidaksuburan, atau bahkan soal konsumsi anggur. Keputusan untuk bercerai bisa diambil kapan saja.

Membentuk aliansi politik melalui pernikahan sudah menjadi hal yang populer. Perceraian, pada gilirannya, dilakukan ketika pasangan baru yang 'disukai' muncul di kancah politik. Dalam hal ini, pernikahan yang baru bisa lebih menjamin keuntungan untuk mendapatkan hak istimewa di dunia Romawi dengan menghubungkan dua keluarga.

Salah satu alasan utama banyak perceraian adalah kenyataan bahwa pasangannya tidak ingin lagi menikah. Ketika seorang laki-laki atau istri tidak melihat pasangannya sebagai istri atau suami dan tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menikah, maka hubungan tersebut otomatis putus.