Eugenika Jadi Kebijakan Membunuh Bayi Cacat dalam Sejarah Sparta

By Galih Pranata, Selasa, 20 Februari 2024 | 11:00 WIB
Ilustrasi seorang bayi Sparta. Sepanjang sejarah Sparta, eugenika menjadi kebijakan yang kejam dan kontroversial. (The Archeologist)

Nationalgeographic.co.id—Sepanjang sejarah, kehidupan tidak selalu berjalan dengan mudah—bahkan jauh lebih sulit daripada apa yang kita alami saat ini—bagi sebagian besar umat manusia.

Hal-hal yang kita anggap sangat kejam saat ini, seperti pembunuhan bayi terhadap anak-anak yang tidak diinginkan, dianggap sebagai hal yang rutin oleh banyak orang di dalam masa-masa sejarah.

Seperti dalam sejarah Sparta, "di Yunani kuno, anak-anak yang tidak diinginkan sering kali ditinggalkan di hutan belantara," .

Di sana, mereka binasa karena terpapar cuaca buruk, kehausan atau kelaparan, serangan hewan liar, atau, jika beruntung, diselamatkan oleh orang yang lewat. Pemerintah Sparta khususnya meningkatkan pembunuhan bayi menjadi eugenika sebagai kebijakan negara.

Menurut Plutarch, dalam biografinya tentang pemberi hukum Sparta kuno, Lycurgus: "Keturunan tidak dibesarkan atas kehendak ayah, tetapi dibawa olehnya ke suatu tempat bernama Lesche, di mana para tetua suku secara resmi memeriksa bayi tersebut.

Plutarch meneruskan, "jika tanah (Lesche) itu kokoh, mereka memerintahkan ayahnya untuk memeliharanya, dan memberinya salah satu dari sembilan ribu bidang tanah."

"Tetapi jika ia lahir dengan buruk dan cacat, mereka mengirimkannya ke tempat yang disebut Apothetae, sebuah tempat seperti jurang di kaki Gunung Taÿgetus, dengan keyakinan bahwa kehidupan yang tidak dilengkapi dengan baik oleh alam pada awalnya demi kesehatan dan kekuatan, tidak ada manfaatnya baik bagi dirinya sendiri maupun bagi negara," tulisnya.

Bagaimanapun, dalam sejarah Sparta, banyak tejadi pembunuhan bayi. Banyaknya pembunuhan bayi digunakan di banyak masyarakat untuk menyingkirkan anak-anak yang tidak diinginkan.

Orang Yunani kuno banyak mempraktikkan pemaparan (penyakit) pada bayi. Ini adalah metode yang lebih disukai untuk menyingkirkan anak-anak yang tidak diinginkan karena, bagi orang Yunani kuno, hal ini tidak seburuk pembunuhan bayi secara langsung.

Menurut pandangan mereka, nasib bayi yang terekspos berada di tangan para dewa. Mereka mungkin langsung turun tangan untuk menyelamatkan anak tersebut, atau orang yang baik hati mungkin akan melakukannya.

Paparan cacar pada bayi seringkali terjadi dalam konteks masa-masa sulit yang membuat seorang keluarga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan anak-anaknya. Sehingga cara penyingkiran ini menjadi salah satu jalan.

Namun, ada pula yang mengambil tindakan lebih jauh, dan menganggap penyingkiran bayi karena cacar dan penyakit sebagai kebijakan tetua Sparta: eugenika. Filsuf Aristoteles, misalnya, menganjurkan agar bayi yang cacat untuk disingkirkan.

Seperti yang dia katakan: "Mengenai pemaparan anak, biarlah ada undang-undang yang tidak boleh dijalani oleh anak cacat".

Keputusan untuk membesarkan atau menyingkirkan bayi biasanya ada di tangan ayah, kecuali di Sparta, di mana sekelompok tetua Spartan membuat pilihan tersebut menjadi kebijakan kolektif.

Kota Sparta dalam sejarah Yunani disebut memberlakukan praktik gelap pembunuhan selektif terhadap bayi baru lahir yang cacat. (Wikimedia Commons)

Kehidupan Lycurgus karya Plutarch mempopulerkan gagasan eugenika Sparta, yang menyatakan bahwa negara berhak memutuskan apakah bayi yang baru lahir cukup sehat untuk dibesarkan, atau tidak.

Tujuannya adalah untuk menghasilkan prajurit yang kuat untuk mempertahankan dominasi militer Sparta. Untuk itu, negara Sparta melibatkan diri dalam pemilihan orang tua berdasarkan ciri fisik dan mentalnya.

Pihak berwenang memutuskan bayi baru lahir mana yang akan dibesarkan dan dididik secara militer, sehingga negara terlibat dalam pengasuhan anak-anak, yang dibesarkan di sekolah berasrama yang sangat keras.

Hal itu dilakukan untuk memastikan perkembangan mereka sesuai dengan cita-cita Sparta. Ribuan tahun kemudian, gerakan eugenika muncul dan mencapai puncaknya pada akhir abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20.

Para ahli eugenika modern melihat kembali sejarah, dan dipenuhi dengan kekaguman terhadap kejantanan dan ketangguhan Sparta, mereka menyimpulkan bahwa Sparta kuno sedang merencanakan sesuatu.

Namun, bagaimana jika pembunuhan bayi Sparta sebagai kebijakan negara hanyalah mitos belaka?

Satu-satunya bukti meluasnya pembunuhan bayi yang dianggap kurang sehat atau cacat di Sparta adalah satu bagian dari Kehidupan Lycurgus. Plutarch menulis ratusan tahun setelah Lycurgus meninggal.

Terlebih lagi, dia lebih mementingkan detail biografi tentang kehidupan subjeknya, dibandingkan detail tentang Sparta secara keseluruhan.

Selain itu, ada banyak contoh orang Yunani kuno yang dibesarkan meskipun lahir cacat. Jumlah mereka bahkan termasuk seorang raja Sparta, Agesilaus II (444 – 360 SM), yang terlahir timpang.

Meskipun cacat itu, dia tidak terekspos, dan malah tumbuh menjadi seorang pejuang yang tangguh. Tentu saja, tidak adanya bukti (tambahan) mengenai pembunuhan bayi Sparta bukanlah bukti kisah ini mitos belaka.

Bisa jadi Sparta memang mempraktikkan eugenika, seperti yang dijelaskan oleh Plutarch, tetapi ada beberapa pengecualian terhadap aturan tersebut. Sampai hari ini, perdebatan tentang kebijakan ini berlanjut.