Mispersepsi Gunung Kemukus dan Narasi Cabul yang Mengitarinya

By Galih Pranata, Selasa, 27 Februari 2024 | 15:00 WIB
Momen perayaan Tahun Baru Islam 1 Muharam 1445 H di Gunung Kemukus, Kabupaten Sragen. Terdapat banyak kegiatan, termasuk karnaval dan prosesi Larap Slambu di pusara Pangeran Samudro. (Diskominfo Sragen)

Nationalgeographic.co.id—Barangkali tidak semua khalayak luas mengetahui tentang keberadaan legenda Gunung Kemukus. Sebuah kawasan seluas 421,3995 ha ini, telah menyimpan banyak legenda dan sejarah yang panjang.

Terletak di Desa Pendem, Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen, sebenarnya Gunung Kemukus tidak cukup layak untuk dikatakan sebuah gunung. Ketinggiannya yang hanya 300 Mdpl, lebih tepat jika disebut sebagai bukit.

Namun di balik sebuah wilayah geografisnya, sejarah Gunung Kemukus lebih menarik jika dibaca kembali. Hal ini ditengarai karena adanya stereotip masyarakat karena narasi cabul mengitarinya.

Sejarahnya bermula dari kisah "Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan," tulis Desti Widiani dan Jiyanto kepada Jurnal Lektur Keagamaan berjudul Rekonstruksi Kisah Pangeran Samudro: di Tengah Mitos Ritual Seks Gunung Kemukus, Sumber Lawang, terbitan tahun 2019.

Terkisah bahwa Pangeran Samudro memiliki tujuan dalam menyampaikan syiar agama Islam di kawasan Gunung Kemukus tersebut. Dalam kronik yang melegenda, ia merupakan putra dari Prabu Brawijaya V atau Bhre Kertabhumi, raja terakhir Majapahit dari seorang ibu selir.

Situasi yang dialami Pangeran Samudro kala itu merupakan masa-masa senja dari transisi pengaruh kerajaan Hindu menuju pengaruh Islamisme di Jawa. Hal ini terjadi seiring menguatnya pengaruh Kesultanan Demak Bintoro yang bercorak Islam.

Kesultanan Islam pertama di Jawa disebut dalam banyak kronik didirikan oleh Raden Patah, putera mahkota Prabu Brawijaya V. Dari sini, dapat ditarik bahwa Raden Patah dan Pangeran Samudro masih memiliki hubungan kekerabatan.

"Pada masa itu banyak kerabat kerajaan Majapahit yang mempelajari Agama Islam," tulis Mira Tayyiba dalam artikel yang dimuat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sragen berjudul Kisah Pangeran Samudera dan Sendang Ontrowulan, terbitan 3 Mei 2023.

Demikian pula dengan Pangeran Samudra, ia memutuskan tinggal di Demak Bintoro untuk mendalami Agama Islam kepada Sunan Kalijaga.

Salah seorang ibu tiri yang juga merupakan salah satu selir raja, yakni R.Ay Ontrowulan, turut serta mengiringi Pangeran Samudra belajar Agama Islam di Demak Bintoro.

Beberapa tahun berselang, Sunan Kalijaga mengutus Pangeran Samudro untuk mengembara ke arah selatan. Arah langkahnya tertuju pada Gunung Lawu. Di sana, ia diminta belajar kepada ulama-ulama Islam yang dijumpai selama pengembaraannya itu.

Selain mendalami ajaran Islam, sang pangeran juga diminta untuk menyambung kembali tali silaturahmi dengan kerabat Majapahit yang tercerai berai. Di antara kerabatnya, banyak yang mendiami wilayah sekitar Gunung Lawu.

Salah satunya adalah Kiai Ageng Gugur di desa Pandan, di lereng Gunung Lawu. Pangeran Samudro lantas singgah beberapa lama di pesanggrahan Kiai Ageng Gugur. Setelah memperoleh restu dari Kyai Ageng Gugur, ia berniat kembali ke Demak Bintoro.

Pangeran Samudro telah berkhidmad dan bertekad bulat untuk menyebarkan agama Islam di sepanjang perjalanan pulang. Ia diiringi oleh dua orang abdi untuk menemani perjalanan dakwah sang pangeran.

Dalam perjalanan pulang, Pangeran Samudra tiba di padang oro-oro Kabar—sekarang bernama dukuh Kabar, Desa Bogorame Kecamatan Gemolong. Namun setibanya di sana, Pangeran Samudro diberitakan jatuh sakit.

Walaupun sakit, tekad kuatnya membuat Pangeran Samudro meneruskan perjalanan dakwahnya. Sampai di sekitar dukuh Doyong—kini masuk wilayah Kecamatan Miri—kesehatan sang pangeran kian memburuk.

Pengawal diutus untuk memberitakan kondisi Pangeran Samudro yang semakin teruk. Sesampainya di Demak, Sultan Demak Bintoro memerintahkan untuk mempersiapkan segalanya demi kesembuhan sang pangeran.

Bahkan, apabila nyawa Pangeran Samudro tidak tertolong, sultan sudah menyiapkan rencana pemakaman terbaiknya. Abdi beserta rombongan yang diutus sultan, kembali menemui Pangeran Samudro di tempatnya tergeletak payah.

Nahas, sesampainya di lokasi, Pangeran Samudro diketahui telah wafat. Sesuai mandat sultan, para abdi telah memilihkan lokasi pemakaman untuk sang pangeran di sebuah bukit sebelah barat laut Dukuh Doyong.

Pusara pangeran terletak di ketinggian sekira 300 mdpl. "Karena puncak bukit makam tersebut sering diselimuti kabut putih di pagi hari hingga mirip asap yang keluar dari kukusan penanak nasi, maka dinamakan Gunung Kemukus," imbuh Mira. 

Obituari Pangeran Samudro meninggalkan duka mendalam bagi R.Ay Ontrowulan di Demak. Ia yang bersedih, bertekad kuat untuk menziarahi pusara sang pangeran. Bergegasnya sang nyai ke Gunung Kemukus.

Sesampainya di sana, R.Ay Ontrowulan memeluk pusara Pangeran Samudro. Barang cukup lama pelukannya tak bisa dilepaskan dari pusara itu. Kisah tentang Pangeran Samudro dan ibu tirinya, Ontrowulan adalah kisah yang melegenda.

Sangat disayangkan, dalam beberapa sejarah lisan dan legenda yang berkembang, mispersepsi telah melahirkan ritus yang menyimpang dengan membuat latar sejarah yang berbeda tentang sang pangeran dan ibu tirinya.

Disebutkan bahwa Pangeran Samudro terlibat cinta terlarang dengan Nyai Ontrowulan yang bernarasi cabul, hingga mereka mati dirajam oleh warga setempat. Dari sini, barangkali ritus seks di Gunung Kemukus berkembang.

Muncul pandangan untuk mencari berkah dari bentuk pesugihan yang dinamakan ritual "ngalap berkah." Ritus ini mendorong "masyarakat melakukan ritual seks dengan sesama peziarah yang bukan istri/suaminya," sambung Desti Widiani dan Jiyanto dalam jurnalnya.

Lebih ekstrem lagi, ritualnya dilakukan di sekitar pusara yang dipercaya sebagai tempat peristirahatan terakhir Pangeran Samudro. Disebutkan bahwa para pengunjung makam Pangeran Samudro harus melakukan ritual berhubungan intim dengan lawan jenis.

Tak tanggung-tanggung, ritus ini dilakukan dengan yang bukan istri atau suaminya. Ritusnya berlangsung selama tujuh kali dalam satu lapan atau sekitar 35 hari!

Legenda muram bernarasi cabul ini telah mengubah stereotip masyarakat dalam memandang Gunung Kemukus. Meski demikian, pemerintah telah berupaya mengurangi ritus menyimpang ini dan memugar bagian yang muram dari situs bersejarah ini.