Ketika Hutan Sumatra Menjelma Perkebunan, Bagaimana Nasib Jaring Makanan?

By Utomo Priyambodo, Rabu, 28 Februari 2024 | 09:00 WIB
Kondisi salah satu hutan Sumatra yang kini sudah mengalami deforestasi dan dialihfungsikan. (wanda.cc/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Setiap hari, kawasan hutan hujan diubah menjadi perkebunan. Kondisi ini mengubah secara drastis keanekaragaman hayati tropis dan fungsi ekosistem.

Namun, pemahaman yang ada saat ini mengenai dampaknya masih terbatas: penelitian-penelitian sebelumnya cenderung mengkaji keanekaragaman hayati atau ekosistem.

Sebuah tim peneliti internasional yang dipimpin oleh universitas-universitas yang ada Göttingen, Jerman, dan Bogor, Indonesia, menyatukan benang merah dalam penelitian ini.

Tim peneliti gabungan tersebut menganalisis organisme mulai dari tungau mikroskopis dan cacing tanah di dalam tanah, hingga kumbang dan burung di kanopi pohon. Mereka kemudian membandingkan hutan hujan tropis dengan perkebunan karet dan kelapa sawit di Sumatra, Indonesia.

Temuan mereka memberikan wawasan pertama tentang pemrosesan energi di seluruh komunitas hewan tanah dan kanopi di ekosistem tropis dengan keanekaragaman hayati yang besar.

Para peneliti menunjukkan bahwa konversi hutan hujan menjadi perkebunan mengikis dan merestrukturisasi rantai makanan dan secara mendasar mengubah bagaimana ratai makanan itu berfungsi.

Hasil penelitian mereka ini telah terbit di jurnal Nature pada 14 Februari 2024. Makalah studi mereka berjudul "Rainforest transformation reallocates energy from green to brown food webs".

Dalam studi ini, para peneliti mulai mempelajari keanekaragaman hayati, meliputi tumbuhan, serangga, vertebrata. Mereka juga mempelajari perubahan fungsi jaring makanan, mencakup biomassa, struktur trofik, dan fluks energi.

Untuk melakukan hal itu, mereka memperkirakan kelimpahan dan biomassa makhluk-makhluk berikut: arthropoda (seperti laba-laba, serangga, tungau, dan lipan) di kanopi pohon menggunakan teknik yang dikenal sebagai “fogging”; burung menggunakan perekam audio dan pengamatan pada titik-titik tertentu; dan artropoda tanah dan cacing tanah dari inti tanah. Informasi ini dikumpulkan di 32 lokasi yang mewakili hutan hujan atau perkebunan.

Mereka kemudian menganalisis temuan mereka menggunakan model yang ada mengenai sifat dan preferensi makan untuk merekonstruksi jaring makanan di setiap lokasi dan di semua kelompok hewan.

Hasilnya digunakan sebagai ukuran distribusi energi dan konsumsi berbagai sumber daya (tanaman hidup, sampah, bakteri, jamur, bahan organik tanah, hewan lain) dalam jaring makanan di atas dan di bawah tanah.

Metode yang mereka gunakan memperhitungkan dekomposisi dan mengukur tindakan predator (seperti laba-laba atau burung tertentu) dalam jaring makanan.