Inspirasi Praktik Budi Daya Rumput Laut Ramah Lingkungan dari NTT

By Utomo Priyambodo, Kamis, 29 Februari 2024 | 09:00 WIB
Praktik budi daya rumput laut di Nusa Tenggara Timur (NTT). (Nugroho Arif Prabowo/YKAN)

Nationalgeographic.co.id—Ternyata ada banyak praktik budi daya rumput laut yang tidak ramah lingkungan di Indonesia. Salah satunya di Nusa Tenggara Timur (NTT), apalagi beberapa tahun lalu.

Pada tahun 2020, ketika M. Zia Ul Haq pertama kali datang ke Kabupaten Sabu Raijua di NTT, dia melihat hamparan botol plastik di laut sebagai tempat menanam rumput laut. Dia menjumpai praktik mengikis terumbu karang, menumpas lamun, dan menebang pohon mangrove yang dilakukan oleh para pembudi daya rumput laut di sana.

Zia adalah Savu Sea Program Manager Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). Dia menceritakan pengalamannya itu adalah acara Thought Leaders Forum (TLF) yang digelar oleh YKAN di Jakarta pada Rabu, 28 Februari 2024. Tema acara TLF tersebut adalah “Pengembangan Budi Daya Rumput Laut Berbasis Konservasi untuk Mendukung Ekologi dan Ekonomi Masyarakat”.

Selama bertahun-tahun Indonesia telah menjadi produsen rumput laut terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Salah satu provinsi penghasil rumput laut terbesar di Indonesia adalah NTT.

Sayangnya, banyak praktik budi daya rumput laut di NTT dan provinsi lain yang berpotensi merusak lingkungan dan mengancam keberlangsungan habitat pesisir. Praktik budi daya yang tidak ramah lingkungan itu dapat berdampak pula pada menurunnya manfaat ekonomi bagi masyarakat.

Untuk mendorong praktik budi daya rumput laut yang lebih ramah lingkungan, YKAN telah menjalankan program untuk membina dan mendampingi kelompok-kelompok pembudi daya rumput laut di NTT. Kini sudah banyak kelompok budi daya yang sudah tidak lagi memakai botol plastik dan tidak lagi merusak terumbu karang, lampun, maupun mangrove,

“Jumlah pembudi daya rumput laut di NTT terus meningkat pesat. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah dengan semakin banyaknya nelayan kecil yang beralih menjadi pembudi daya. Hal itu berdampak pada kelestarian alam. Sebab, masih banyak praktik budi daya rumput laut yang merusak lingkungan, terutama bagi habitat pesisir,” kata Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang Imam Fauzi yang menjadi keynote speaker dalam acara TLF ini.

Acara Thought Leaders Forum (TLF) yang digelar oleh YKAN di Jakarta pada Rabu, 28 Februari 2024. (Utomo Priyambodo)

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulastri H. I. Rasyid, juga turut hadir dalam acara ini. Dia menjabarkan sejumlah tantangan yang dihadapi bagi upaya konservasi serta aspek berkelanjutan dan produksi dari rumput laut di NTT.

“Degradasi habitat dari metode budi daya yang merusak, sampah di laut yang dihasilkan oleh kegiatan budi daya, belum menyeluruhnya pengetahuan teknis terkait budi daya, belum optimalnya perencanaan tata ruang untuk budi daya rumput laut, panjangnya rantai pasokan, aspek permodalan, hingga dampak dari perubahan iklim merupakan tantangan utama bagi isu budi daya rumput laut di NTT,” ujar Sulastri.

Jika tantangan tersebut dapat diatasi, Bupati Sabu Raijua Nikodemus Nithanael Rihi Heke percaya, budi daya rumput laut dapat memberikan bukan hanya manfaat ekonomi dan sosial, melainkan juga manfaat bagi alam apabila dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan.

“Tantangan-tantangan tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan pengetahuan pembudi daya dengan bimbingan teknis, mengintegrasikan program budi daya rumput laut ke dalam rencana desa, mengembangkan kebun bibit yang dikelola bersama, pembuatan sumber informasi untuk pembudi daya rumput laut yang mudah diakses, serta bekerja sama dengan lembaga keuangan untuk penyediaan akses modal,” paparnya.