Nationalgeographic.co.id - Juli tahun ini, Presiden Joko Widodo berencana mulai berkantor di IKN (Ibu Kota Nusantara) di Kalimantan. Perpindahan itu akan diikuti oleh sejumlah ASN, termasuk Polri dan TNI. Sementara, pembangunan ibu kota yang baru itu belum rampung, dan akan selesai total pada pada 2045 mendatang.
Proses pembangunan ini pun dipotret satelit NASA. Dalam foto yang dirilis 19 Februari 2024, NASA membandingkan citra satelit IKN yang sebelumnya sempat dipotret pada April 2022. Dua tahun pembangunan itu sangat terlihat bahwa hutan menipis, perlahan tergantikan oleh berbagai infrastruktur pembangunan.
IKN dibangun di atas hutan industri. Sejak awal, lahan hanya ditanam monokultur yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan industri. Akan tetapi, pembangunan di hutan industri untuk membangun kota dikhawatirkan oleh para ilmuwan dan pegiat lingkungan.
Meski bukan mengurangi kawasan hutan lindung, para ilmuwan dan pegiat lingkungan khawatir dampaknya terhadap keberlangsungan ekosistem dan lingkungan sekitar.
"Pada dasarnya, secara umum, kalau memang di situ ada kota baru pasti ada dampak yang entah dampaknya besar, atau kecil, atau sedang," kata Rheza Maulana dari Koalisi Perlindungan Hewan dan peneliti alumni Magister Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia.
"Kalau dampak pasti ada karena, kalau misalkan tadinya tidak ada aktivitas manusia yang besar tiba-tiba jadi ada aktivitas yang lumayan besar atau ramai, itu pasti bisa memengaruhi," tambahnya. "Yang terpenting sekarang adalah bagaimana mengurangi dampak dari pembangunan yang sudah berjalan."
Di dekat IKN terdapat Sungai Wain yang bermuara ke Teluk Balikpapan. Di dalamnya terdapat berbagai hewan air yang sejak lama menghuni, termasuk pesut mahakam. Akan tetapi, keberadaan mereka kerap tergerus oleh aktivitas manusia, seperti perahu yang lalu lalang.
Di sisi lain, puluhan kilometer dari Titik 0 Kilometer IKN juga terdapat Hutan Lindung di perbatasan Balikpapan dan Kecamatan Samboja di Kabupaten Kutai Kartanegara. Ada berbagai jenis satwa yang dilindungi tinggal di dalam hutan, termasuk bekantan, monyet ekor panjang, orangutan, dan beruang.
Rheza mengutarakan, selama ini tidak sedikit satwa yang berubah perilaku akibat aktivitas manusia di Kalimantan. Satwa liar, terutama primata seperti monyet ekor panjang dan orangutan, adalah hewan penjelajah. Jika habitatnya terganggu atau terdesak untuk mencari makan, mereka akan berkelana, bahkan memasuki area pemukiman manusia.
"Perlu dipikirkan lagi di sini [tentang regulasi di IKN], bagaimana untuk mengantisipasi dan memitigasi hal-hal ini selalu terjadi," terangnya.
Satwa liar dalam bayang-bayang pejabat di IKN
Rheza berpendapat, semestinya keberadaan IKN dapat menguntungkan dalam segi birokrasi dalam pemeliharaan satwa liar. "Kalimantan itu sebagai biodiversity hotspot. Sebagai pusatnya keanekaragaman hayati di Indonesia. Dengan keanekaragaman hayati yang sangat besar itu, lebih mudah seharusnya [memantau konservasi]."
"Kalau misalkan presiden aja di sana (IKN), kan harusnya mereka tahu ada orangutan dan beruang, bisa ditangani. Ibaratnya, ya presiden langsung pun bisa, gitu. Kalau memang niatnya baik, tetapi jangan sampai jadi bumerang."
Bahaya yang mengintai satwa liar bukan hanya masalah pelestarian lingkungan saja. Ancaman lainnya adalah pemeliharaan satwa liar yang mendorong perburuan satwa di hutan.
Berbagai lembaga konservasi telah melaporkan sejumlah kasus perburuan hewan. Perburuan ini disebabkan adanya permintaan pasar untuk satwa liar tertentu untuk dipelihara. Kerap, perburuan satwa liar mengancam keberlangsungan konservasi, karena yang diburu adalah anakan, tetapi juga membunuh induk yang membela diri.
Rheza Maulana, dalam makalah tahun 2022 berjudul "Paradoks kepemilikan satwa liar, di tengah pandemi yang ditularkan oleh satwa liar" mengungkapkan, beberapa pejabat memelihara satwa liar.
Pada 2016, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memamerkan awetan harimau dan macan dalam televisi. Ada pun yang sempat ramai diperbincangkan pada 2022, Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang menggunakan kulit harimau sebagai taplak meja. Hal ini menunjukkan dapat dengan mudahnya para pejabat mendapatkan akses pembelian hasil perburuan satwa liar.
"Itu baru di Jakarta. Bagaimana kalau di sana (Kalimantan)?" tutur Rheza. "Jangan sampai ada interaksi dengan satwa. Jadi enggak bisa kita mindset-nya seperti di Jakarta yang enggak ada satwa liar".
Belum lagi konsep kota yang berdekatan dengan hutan memungkinkan interkasi penduduk kota baru dengan satwa liar. "Siapa tahu ada yang hobinya berburu? Itu kan berarti orang masuk [ke habitat satwa]."
Konsep forest city yang harus diawasi
Pemerintah mengusung IKN dengan konsep forest city--kota berbasis hutan. Konsep ini sebenarnya sudah dikembangkan oleh pihak swasta di tempat lain, seperti Bumi Serpong Damai (BSD) di Banten.
Tidak tanggung-tanggung, pemerintah akan merancang kota yang dilengkapi dengan transportasi umum ramah lingkungan dan teknologi industri dari energi terbarukan. Dengan demikian, diharapkan ibu kota Indonesia yang baru itu bisa menjaga kelestarian lingkungan.
Namun, Rheza berpendapat rencana perkotaan forest city harus diawasi. Walau terkesan ramah lingkungan, dampak pembangunan kota dan aktivitas manusia bisa meluas ke tempat satwa liar bernaung.
"Jangan sampai jadi bumerang. Banyak pemikiran konservasi yang keliru, justru jadi eksploitasi. Ini yang harus digembok benar-benar nih kalau memang niatnya sustainable city--forest city, Semuanya sampai ke konservasi juga sustainable," jelasnya.
Pembangunan harus memperhitungkan satwa liar yang sudah sejak lama tinggal di hutan, sekalipun kawasan tersebut adalah hutan industri.
"Koridor satwa liar, misalkan di jalan raya dan jalan tol itu wajib ada. Kemudian, kalau misalkan ada interaksi (manusia dan satwa liar) itu bagaimana persiapan pemerintah setempat kalau ada satwa masuk," lanjut Rheza.