Singkap Perjalanan Panjang Praktik Perdukunan dalam Sejarah Korea

By Sysilia Tanhati, Selasa, 19 Maret 2024 | 08:22 WIB
Shamanisme (syamanisme) dipraktikkan secara luas dalam sejarah Korea dari zaman prasejarah hingga era modern. Dalam sebagian besar catatan sejarah Korea, Buddha adalah agama resmi negara. Namun perdukunan tetap menjadi hal yang penting bagi masyarakat. (Splashman Phoenix/CC BY 3.0)

Mudang dan paksu pasti mempunyai banyak keberhasilan. Pasalnya, dukun dianggap sebagai salah satu pemimpin masyarakat pada masyarakat awal Korea kuno, bahkan mungkin merupakan penguasa tunggal. Salah satu istilah untuk raja-raja Silla awal adalah chachaung atau dukun. Salah satu buktinya adalah desain mahkota emas kerajaan Silla pada abad ke-5 hingga ke-6 M. Mahkota ini memiliki pelengkap seperti pohon, motif yang biasa ditemukan dalam seni perdukunan.

Selain itu, mitologi Korea menggambarkan para pemimpin seperti pendiri ras Korea Dangun memiliki kualitas perdukunan. Ia terkadang digambarkan dalam seni sebagai Sanshin (atau sebaliknya).

Shamanisme hidup berdampingan dengan kepercayaan dan agama lain dalam sejarah Korea

Sejak Dinasti Goryeo (918 - 1392 M) dan seterusnya, praktik perdukunan berkurang dalam hal pengaruhnya terhadap pemerintahan dan urusan negara. Hal ini terjadi seiring dengan semakin pentingnya prinsip-prinsip Konfusianisme dan Buddhisme. Beberapa ratu memang mempekerjakan dukun pribadi mereka. Para dukun terkadang dipanggil oleh pemerintah pada saat krisis seperti kekeringan parah atau banjir. Namun pada masa dinasti Joseon dari abad ke-14 M, ada tindakan khusus untuk mengecualikan dukun dari istana kerajaan.

Dalam sejarah Korea, semua dukun harus terdaftar dan seorang pejabat pemerintah ditunjuk untuk mengawasi kegiatan mereka. Hal ini disebabkan oleh adopsi Neo-Konfusianisme dan ketidaksetujuan aristokrat terhadap perdukunan dengan tariannya yang tidak pantas. Namun, perdukunan tetap mempunyai pengaruh yang kuat terhadap masyarakat awam, yang sebagian besar tinggal di pedesaan.

Shamanisme di era modern

Terkadang, beberapa dukun, atau individu yang menyamar sebagai dukun, mengeksploitasi sistem kepercayaan tersebut demi keuntungan pribadi mereka.

Dalam salah satu kasus, polisi di Daegu menangkap seorang dukun pada tahun 2009 karena memaksa kliennya melakukan prostitusi setelah dia tidak mampu membayar biaya ritual. Korban awalnya meminjam 2 juta won dari ibu dukun pada tahun 2002, untuk membayar ritual “menangkal nasib buruk”.

Namun korban tidak mampu melunasi utangnya karena besarnya bunga yang diminta keluarga dukun. Dukun kemudian memaksa korban melakukan prostitusi. Ia menuntut agar korban membayar utangnya. Selama 6 tahun, dukun tersebut berhasil memeras total 1 miliar won dari korbannya.

Mengutip dari The Korean Herald, beberapa politisi diketahui meminta nasihat dukun menjelang pemilu penting.

Namun, di luar politik, banyak orang Korea yang mencari nasihat dari dukun hanya untuk bersenang-senang. Kebanyakan orang cenderung menganggap remeh nasihat tersebut, seperti ramalan kartu tarot di Barat.

Peramal biasanya melibatkan pembacaan wajah dan saju. Yang pertama adalah praktik menganalisis karakter seseorang dari fitur wajahnya. Sedangkan saju mengharuskan dukun menganalisis tahun, bulan, hari, dan jam kelahiran untuk memprediksi masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Praktik ini dilakukan di kuil-kuil kecil dan kafe-kafe, biasanya terletak di kawasan hiburan yang ramai dekat universitas. “Misalnya kawasan Hongdae di Seoul,” ungkap Jung Min-Kyung di The Korean Herald. Mereka biasanya berkumpul di antara restoran, kedai kopi, dan toko pakaian.

“Ramalan ini hanyalah cara yang menyenangkan untuk memulai tahun yang baru. Namun generasi tua di Korea biasanya sangat menghargai saju. Mereka menjadikan ramalan sebagai panduan untuk menjalani hidup,” tambah Jung.