Nationalgeographic.co.id—Pada tahun 1860-an, di bawah ancaman penjajahan Barat, Kekaisaran Jepang melaksanakan proyek modernisasi yang mendesak. Upaya mereka berdampak pada banyak aspek kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang. “Mulai dari pengembangan militer gaya Eropa hingga perubahan kecil seperti pemasangan lampu jalan,” tulis Emily Warren di laman Atlas Obscura.
Selain itu, para pembaca Jepang juga penasaran dengan budaya asing dan teknologi baru yang diadopsi dengan cepat oleh kekaisaran. Melihat peluang itu, penerbit Jepang memanfaatkan kesempatan ini dengan menerbitkan beragam buku dan cetakan balok kayu untuk masyarakat.
Dalam salah satu karyanya, the 1873 A Guide to World Customs, penulis Nakagane Masahira menyertakan ilustrasi penemuan gravitasi Newton. Penemuan itu terjadi setelah Newton melihat apel jatuh dari pohon. Tapi, apa itu apel? Tidak ada buah seperti itu yang dijual di Tokyo. Penerbit buku jelas berpikir akan lebih mudah untuk mengganti buah asing yang tidak dikenal dengan buah yang lebih familiar. Seperti buah plum Jepang.
Rupanya, saat ilustrator mengukir balok kayu untuk gambar Newton, orang Jepang baru saja mulai membudidayakan pohon apel pertama. Upaya mereka kelak mendongkrak penjualan apel di Kekaisaran Jepang. Dan pada akhirnya, terciptanya salah satu varietas apel paling populer di dunia: Fuji.
Nakagane dan ilustrator Tokyo-nya harus dimaafkan jika tidak mengetahuinya. Namun apel domestik, kerabat jauh apel yang menginspirasi Newton, sebenarnya ada di Jepang. Apel domestik ukurannya lebih kecil dari bola golf, asam, dan dianggap cocok untuk dipersembahkan di altar. Sayangnya, apel domestik yang ada saat itu tidak terlalu cocok untuk dikonsumsi.
Namun hal itu segera berubah. Apel bisa bertahan selama berbulan-bulan dalam perjalanan, yang memungkinkan mereka melakukan perjalanan dari Eropa dan Amerika Serikat ke Jepang. Sejumlah apel Barat tiba melalui Tiongkok pada awal tahun 1860-an. Tapi para pencicipnya tidak terkesan, menganggap buahnya masih mentah dan seperti kapas.
Namun, apel impor tersebut mendapatkan penggemar pertama. Lord Matsudaira Shungaku dari Domain Fukui menanamnya di kediamannya di Edo. Pada tahun 1865, pengiriman apel dalam jumlah besar tiba di Kekaisaran Jepang dari Amerika Serikat.
“Buahnya enak dipandang, dan rasanya enak sekali,” tulis Tanaka Toshio, seorang naturalis. “Orang-orang terkejut. Mereka berkata, ‘Hal seperti ini bahkan ada di dunia?’ Sungguh luar biasa.”
Buah ini memang enak, tapi bisakah dibudidayakan secara luas di Kekaisaran Jepang? Dalam beberapa tahun setelah Tanaka Toshio mencicipi apel pertamanya, Kaisar Meiji muda dan faksi-faksinya telah menggulingkan shogun Tokugawa terakhir dari kekuasaannya. Mereka mengganti nama Tokyo dari Edo dan memulai proyek modernisasi besar-besaran bergaya Barat. Untuk mengembangkan pertanian dalam negeri, pemerintah Meiji menyisihkan lahan. Mereka mempekerjakan spesialis asing, dan memesan berton-ton benih, tanaman, dan hewan asing.
Sebelum melakukan perjalanan ke Amerika pada 1871, Hosokawa Junjiro mendengar dari petani Amerika bahwa apel layak ditanam di Jepang.
Saat melakukan perjalanan di Amerika Serikat dalam misi mempelajari negara tersebut, Hosokawa memperoleh sejumlah besar apel Ralls Janet. Apel ini adalah varietas yang terkenal dibudidayakan oleh Thomas Jefferson. Pohon-pohon tersebut tiba di Kekaisaran Jepang pada tahun 1874. Pada tahun berikutnya, pohon-pohon tersebut didistribusikan ke lokasi penelitian di Hokkaido, Honshu utara, dan Nagano.
Apel juga memasuki komunitas pertanian melalui jalur lain. John Ing, seorang misionaris di Aomori, memperkenalkan jenis apel yang berbeda ke Kota Hirosaki. Dari sana, mantan samurai Kikuchi Kuro membudidayakan apel pertama di Jepang. Ia menyebutnya “Indo,” yang diambil dari nama negara bagian asal Ing, Indiana. Apel budidaya mantan samurai itu kemudian menjadi induk dari sejumlah varietas Jepang yang populer, seperti Crispin.
Prefektur Aomori dan Nagano ternyata merupakan tempat yang ideal untuk menanam apel. Pasalnya, musim dingin yang sangat dingin dan musim panas yang sejuk dan lembap sangat cocok untuk budi daya apel. Namun, banyaknya tantangan memaksa petani untuk berinovasi atau berisiko kehilangan hasil panen baru.
Pada tahun 1877, Kikuchi Tatee, anggota keluarga samurai lokal terkemuka di Hirosaki, bertekad untuk menanam pohon apel secara efektif. Ia pun berangkat ke stasiun uji pertanian Nanae di Hokkaido untuk belajar tentang budi daya apel dari para ahli asing.
Selanjutnya, Kikuchi mewariskan keahliannya kepada ahli hortikultura Tonosaki Kashichi. Kashichi kemudian dikenal sebagai “Dewa Apel”. Tonosaki bekerja tanpa kenal lelah untuk mendukung tanaman di Aomori. Ia menyebarkan penelitiannya tentang pengendalian hama, pestisida, dan pemangkasan.
Ketika petani Aomori khawatir akan ranting-ranting apel yang patah di tengah salju lebat, mereka membuat penyangga kayu untuk pohon tersebut. Penyangga ini mirip dengan jenis yang digunakan di taman tradisional untuk melindungi pohon pinus.
Ketika serangga dan penyakit mengancam tanaman, mereka dengan hati-hati membungkus setiap buah dengan koran dan kertas tradisional Jepang. Tak lama kemudian, para petani menggunakan “kantong apel” yang diproduksi secara khusus. Kantong apel tersebut masih dapat dilihat di kebun buah-buahan Jepang hingga saat ini.
Varian Fuji muncul dari upaya berkelanjutan di Aomori untuk menghasilkan apel yang lebih baik. Pada tahun 1939, para peneliti di kota Fujisaki mengaplikasikan serbuk sari Red Delicious ke putik bunga Ralls Janet setempat. Buah yang dihasilkan terasa manis dan renyah, dengan kulit berwarna merah berbintik-bintik. Mereka menyebutnya “Agriculture-Forestry No.7”.
Namun varian Fuji hampir memudar dari sejarah Kekaisaran Jepang. Ketika Perang Dunia II berkecamuk, komunitas petani apel di Jepang mengalami kesulitan. Pada tahun 1941, embun beku awal merusak tanaman. Pada tahun 1944, terjadi topan; tahun berikutnya terjadi hujan salju yang tidak pada waktunya sehingga memusnahkan hasil panen. Tepat setelah perang berakhir, bencana akibat ulah manusia terjadi dalam bentuk pajak baru yang melumpuhkan industri apel. Bencana itu diikuti dengan jatuhnya harga pada tahun 1948.
Apel Fuji mungkin akan tetap menjadi “No.7”, hilang dalam ketidakjelasan penelitian lokal, jika kawasan apel di Jepang tidak bangkit. Hal ini terjadi pada tahun 1950-an. Pemasar yang cerdas menjadikan apel sebagai simbol Aomori dalam kampanye periklanan saat panen mencapai titik tertinggi dalam sejarah. Pada tahun 1956, Aomori memproduksi hampir 30 juta gantang apel.
Sebagai pengakuan atas pentingnya buah ini secara ekonomi dan budaya, pejabat Aomori melacak pohon apel tertua di Jepang. Pohon itu terletak di Tsugaru dan ditetapkan sebagai monumen alam pada tahun 1960.
Akhirnya, pada tahun 1962, para peneliti Fujisaki mempersembahkan “No.7” kepada Dewan Pemilihan Nama Apel Nasional. Mereka yang hadir memutuskan untuk menamai apel itu “Fuji”. Nama Fuji dipilih bukan berdasarkan nama gunungnya yang terkenal, melainkan menurut nama kota Fujisaki. Apel Fuji, yang populer karena kerenyahan dan manisnya, kemudian menjadi apel paling populer di Kekaisaran Jepang.
Aomori, yang merupakan rumah bagi banyak inovasi apel Jepang, saat ini memproduksi lebih dari 400.000 ton apel setiap tahunnya. Produksi Aomori merupakan yang terbesar di Jepang dan Nagano di posisi kedua.
Saat ini, apel tetap menjadi bagian penting dari branding dan pariwisata mereka. Di Nagano, wagyu lokal terkenal karena berasal dari “Sapi yang Dibesarkan dengan Apel”. Di Aomori, pengunjung akan menemukan industri pariwisata berbasis apel yang dinamis. Kawasan ini memiliki tur apel, museum, dan kebun buah-buahan. Di kebunnya, para tamu dapat memetik buah mereka sendiri. Selain itu, Nagago dikenang karena jasa para inovator yang membuat apel Jepang sukses besar.