Nationalgeographic.co.id—Mahmud Ghazan adalah salah satu tokoh yang paling mencolok dari Ilkhanat yang memimpin dinasti Mongol di wilayah Iran. Salah satu hal yang menarik perhatian sejarawan adalah keputusannya untuk memeluk agama Islam.
Keputusan Ghazan untuk memeluk Islam membawa dampak pada hubungan politik antara Kekaisaran Mongol dan negara-negara muslim lainnya. Hal ini mencerminkan kompleksitas hubungan antarbudaya pada masa itu, di mana agama sering menjadi faktor penting dalam diplomasi dan politik.
Kendati demikian, meskipun telah menjadi pemimpin muslim, ia tetap memerangi musuh-musuh warisan keluarganya. Pasukan muslim Mamluk contohnya, musuh bebuyutan yang bahkan tak dapat ia kalahkan hingga akhir hayatnya.
Kehidupan Awal Mahmud Ghazan
Masa kecil Ghazan sebagian besar dihabiskan bersama kakeknya, Il-Khan Abagha (1265-1982). Di masa mudanya, dia tumbuh dalam keyakinan Buddha, seperti yang dianut oleh kakek dan ayahnya, Arghun.
Setelah ayahnya naik takhta pada tahun 1284, Ghazan dipercaya sebagai wakil raja wilayah-wilayah di timur laut Persia. Di tempat inilah dia akan tinggal selama 10 tahun dan mempertahankan perbatasan dari serangan Mongol Chagatai di Asia Tengah.
Pasca ayahnya turun takhta, Ghazan terlibat dalam perebutan kekuasaan dengan saudara-saudaranya.
Hubungan antara Ghazan Khan dengan Gaykhatu, penerus Arghun, sangatlah dingin. Sementara itu, hubungannya dengan Baydu, sepupu Gaykhatu yang kemudian merebut takhta, berubah menjadi perang terbuka, kata John Andrew Boyle, Seorang profesor Kajian Persia, Universitas Victoria, Manchester.
Setelah pertemuan awal mereka, yang berlanjut dengan gencatan senjata dan diskusi, Ghazan memilih untuk menghabiskan musim panas tahun 1295 di pegunungan utara Teheran saat ini.
Berdasarkan saran dari Nawruz—putra Arghun lainya—yang kini telah berdamai dengannya, ia memutuskan untuk menganut Islam. Keputusan ini kemudian diikuti oleh pasukannya.
Dengan status barunya sebagai pemimpin pasukan muslim, Ghazan melanjutkan serangan terhadap Baydū. Baydū sendiri ditinggalkan oleh para pendukungnya dan ditangkap serta dieksekusi pada hari yang sama ketika Ghāzān memasuki ibu kota Il-Khanid, Tabriz.
Karir sebagai Il-Khan
Pada 3 November 1295, Ghazan secara resmi naik ke tampuk kekuasaan. Di tahun pertamanya ini, dia harus menghadapi sejumlah pemberontakan terhadap otoritasnya.
Semua pemberontakan itu ditumpas dengan sangat keras–tidak kurang dari lima pangeran dihukum mati karena keterlibatan mereka. Nawruz sendiri, yang telah membantu mengangkat Ghazan ke tahta, segera membayar dengan nyawanya karena diduga berkolusi dengan Mamluk.
“Meskipun sekarang menjadi kepala negara muslim, Ghazan meneruskan perselisihan turun-temurun keluarganya dengan para pejuang Islam,” kata Andrew. “Pada tahun 1299-1300, ia menginvasi Suriah, mengalahkan tentara Mesir di Homs, dan berhasil masuk ke Damaskus dengan penuh kemenangan.”
Ketika Ghazan dan pasukannya kembali ke Persia, wilayah ini kembali diduduki oleh Mamluk. Tentu, Ghazan tak tinggal diam.
Pada musim gugur tahun 1300, ia melakukan penyerangan kepada pasukan Mamluk. Namun, cuaca yang buruk, membuat operasi militer tidak memungkinkan–operasi dihentikan sebelum kontak dengan musuh dilakukan.
Untuk rencana penyerangan selanjutnya, Ghazan mencoba mencari aliansi dengan Kristen Barat. Dalam sebuah surat kepada Paus Bonifasius VIII tertanggal 12 April 1302, ia merujuk pada rencana terperinci untuk invasi Suriah:
“ … Kalian juga harus mempersiapkan pasukan kalian, mengirimkan kabar kepada para penguasa berbagai negara dan tidak lalai dalam pertemuan. Insya Allah, kita [yakni, Ghāzān] akan menjadikan pekerjaan besar ini [yakni, perang melawan Mamluk] sebagai satu-satunya tujuan kita.”
Kampanye yang disinggung oleh Ghazan di sini diluncurkan pada musim semi tahun 1303 tanpa bantuan Eropa. Bangsa Mongol bergerak maju melalui Suriah tanpa menemui perlawanan serius, hingga akhirnya mereka dihentikan dan dikalahkan secara telak di selatan Damaskus.
Bukan Ghazan jika mudah menyerah. Dia mencoba menyusun rencana operasinya dengan sangat hati-hati. Namun nahas, upayanya harus tertunda karena penyakit yang menjangkit sang raja pada tahun 1303. Dia sembuh untuk sementara waktu, namun kemudian kambuh lagi dan wafat pada 11 Mei 1304.
Warisan
Pencapaian Ghazan tidak terbatas pada kegiatannya di medan perang. Dia juga telah memberikan kontribusi yang signifikan di berbagai bidang lain, memperlihatkan bakat dan kemampuannya di beberapa bidang.
Sebagai seorang pria yang memiliki keingintahuan intelektual yang tinggi, ia fasih dengan berbagai topik seperti sejarah alam, kedokteran, astronomi, dan kimia. Disebutkan, dia juga ahli dalam beberapa kerajinan tangan.
"Tidak ada yang melebihi dia," kata sejarawan Bizantium, Pachymeres, "dalam membuat pelana, tali kekang, taji, sarung tangan, dan helm; dia bisa memalu, menjahit, dan menyemir, dan menggunakan waktu senggang dari perang untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut."
Selain bahasa asalnya, Mongolia, ia dikatakan memiliki pengetahuan tentang bahasa Arab, Persia, Hindi, Kashmir, Tibet, Cina, dan Franka (yaitu, mungkin Prancis).