Nationalgeographic.co.id—Jika melihat kebiasaan di Belanda hari ini, masyarakat lebih mengandalkan sepeda sebagai transportasi pribadi untuk keliling kota. Sejarah sepeda di Belanda sangat panjang. Perkembangannya seiring dengan maraknya industri sepeda yang bermunculan di Eropa dan Amerika pada abad ke-19.
Meski demikian, pada dekade 1880-an, penggunaan sepeda di Belanda masih dalam tahap berkembang jika dibandingkan negara-negara lainnya. Perubahan terjadi pada dekade berikutnya, ketika mulai banyak jalan yang digunakan untuk pesepeda, alih-alih untuk kuda, kereta kuda, atau mobil.
Pembangunan jalur sepeda ini sudah ada sejak 1880. Harper’s Magazine edisi tahun tersebut melaporkan bahwa "Ada sebuah kota kecil di Belanda yang jalanannya tidak boleh dilalui oleh kuda. Kebersihannya bisa dibayangkan, dan ketenangannya.”
Ada pun The Specator edisi Desember 1898 menyingkap bahwa beberapa tata letak kota di Belanda sudah tersedia untuk lajur moda transportasi tertentu. Salah satu contohnya adalah jalur dari Den Haag ke Scheveningen yang memiliki "rel kereta, kanal, jalur sepeda, jalur kereta api ringan, dan jalan samping yang dibangun secara teratur."
Belanda juga sudah memproduksi sepeda sendiri. Salah satunya yang terkenal kala itu adalah Batavus dan Gazelle. Pabrik-pabrik sepeda pun bermunculan dengan ragam jenama yang bersaing di Eropa.
Pesatnya penggunaan sepeda di Belanda pun menular hingga ke koloninya di Asia Tenggara, Hindia Belanda. Hermanu, dalam Pit Onthel 2010: Indische Fietsen menjelaskan bahwa perkenalan sepeda di Hindia Belanda karena negeri koloni ini menjadi pasar terbesar berbagai produk dari Belanda.
Dalam buku Seri Lawasan Pit Onthel terbitan yang digarap Bentara Budaya Yogyakarta, sepeda mulai masuk ke Hindia Belanda sekitar 1910. Jenama sepeda yang paling banyak laku adalah Batavus, Sparta, Gazelle, dan Fongers. Karena ramainya minat membeli sepeda di Hindia pada awal abad ke-20, muncul pula jenama sepeda asal Inggris dan Jerman.
Saking masif penggunaan sepeda, terutama di Pulau Jawa, istilah sepeda "pit" dalam bahasa Jawa adalah serapan dari "fiets" bahasa Belanda. Sepeda yang kerap dipakai di jalan-jalan utama disebut sebagai sepeda ontel yang terkadang disebut pit kebo (sepeda kerbau) atau pit pancal.
Melansir dari Kumparan, beberapa daerah lainnya di Indonesia menyebut sepeda dengan istilah berbeda. Bahasa Sunda menyebutnya sebagai "sapedah", dan Aceh yang menyebutnya sebagai "keutangen" atau "ketangin" yang berasal dari keureta angin (kereta angin).
Istilah sepeda sendiri berasal dari bahasa Latin yang menyebut transportasi yang digerakkan oleh ayuhan kaki. Transportasi ini dikenal sebagai "velocipede" dalam bahasa Latin yang berarti "kaki yang cepat". Kemungkinan, dari velocipede inilah muncul istilah sepeda.
Selain digunakan oleh masyarakat secara luas di Hindia Belanda, kalangan militer menggunakan sepeda untuk aktivitas patroli. Ada banyak dokumentasi gambar yang menunjukkan aktivitas patroli KNIL menggunakan sepeda di arsip sejarah KITLV, termasuk gambar poster dinas KNIL sendiri.
Sepeda juga digunakan sebagai transportasi perang. Hal ini juga sudah dilakukan di Eropa ketika Perang Dunia I pecah.
Meski demikian, terkhusus di Hindia Belanda, tidak semua orang bisa memiliki sepeda ontel pada masa Hindia Belanda. Moda transportasi yang lebih praktis ketimbang mengendarai kuda ini adalah barang mewah. Harga sepeda jenama Gazelle saja pada masanya bisa sangat mahal, setara dengan satu ons emas.
Sama seperti kehadiran motor di era modern. Semakin canggih spesifikasi motornya, harganya semakin mahal. Begitu pula dengan ontel yang lebih banyak dikendarai orang Eropa, bangsawan, para misionaris dan pastor, tukang pos, dan masyarakat menengah ke atas. Hal ini menggeser kalangan priayi yang awalnya menggunakan kereta kuda.
Perang Dunia II dan Mati Surinya Sepeda Eropa di Hindia
Perang Dunia II yang dimulai pada 1939 berdampak luar biasa secara politik dan ekonomi. Bagi dunia sepeda Belanda dan Hindia Belanda, perang menyebabkan bisnis sepeda tersendat. Pelbagai pabrik sepeda di Belanda di bombardir ketika Jerman memulai invasinya.
Periode kependudukan Jepang di Hindia Belanda pun menyebabkan mandeknya pasar sepeda ontel atau sepeda dari Eropa. Ketika Jepang datang pada Maret 1942, pihak militernya melarang penggunaan sepeda-sepeda buatan Eropa. Suku cadang sepeda buatan Eropa juga terbatas.
Mandeknya sepeda impor dari Eropa membuat perdagangan sepeda bergeser. Hindia Belanda, terutama setelah merdeka menjadi Indonesia, memiliki banyak perusahaan sepeda rakitan dalam negeri. Berbagai kota besar seperti Semarang, Bandung, dan Surabaya memproduksi sepeda dengan jenama seperti Banteng, Garuda, dan Dwi Warna.
Yang Tersisa dari Sepeda
Pada 1960an, Indonesia menjadi target pasar sepeda impor dari Jepang dan Tiongkok, hanya segelintir dari Eropa. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, minat sepeda semakin berkurang karena semakin banyaknya kendaraan motor yang harganya mulai terjangkau.
Hari ini, sepeda ontel lebih banyak disewakan sebagai wisata kenangan masa kolonial seperti di Kota Tua Jakarta. Ada pun kebiasaan menggunakan ontel masih bertahan pada abad ke-21 di Yogyakarta. Pandemi COVID-19 (2020-2021) sempat membawakan kembali tren bersepeda, namun tidak berlangsung lama.