Hilangnya aquila dianggap sebagai pukulan kritis bagi moral legiun, melambangkan hilangnya esensi mereka. Karena hal ini, sering kali mereka mendorong upaya keras untuk mendapatkannya kembali.
Sikap ini terlihat jelas setelah Pertempuran Hutan Teutoburg pada tahun 9 Masehi, di mana suku-suku Jerman memusnahkan tiga legiun Romawi dan merampas elang mereka. Di bawah komando Germanicus, sebuah operasi dilancarkan untuk membebaskan elang mereka yang tersandera.
Demikian pula, pengalaman Legiun Kelima Alaudae pada tahun 17 Masehi, di mana mereka kalah namun kemudian dengan penuh semangat mendapatkan kembali elang mereka.
Budaya Romawi dan Elang
Elang sudah tertanam kuat dalam struktur budaya Romawi sejak awal. Menurut legenda asal-usul Roma, keputusan antara Romulus dan Remus tentang lokasi kota ditentukan secara ilahi oleh penampakan elang.
Sementara Remus pertama kali melihat enam ekor, Romulus mengklaim telah melihat dua belas ekor. Perbedaan ini mengarah pada konflik yang secara tragis berujung pada pendirian Roma di Bukit Palatine, setelah kematian saudaranya.
Sosok elang juga sering disangkut pautkan dengan perjalanan roh setelah kematian. Hal inilah yang menjadi alasan dibalik motif elang di pemakaman kaisar Romawi.
Pliny sang Penatua bahkan menegaskan bahwa elang kebal terhadap petir, sebuah ciri yang kental akan aura ilahi. Simbolisme ini telah bertahan, dengan elang yang sering digambarkan sedang menggenggam petir, sebuah isyarat akan hubungan surgawi.
Aquila dalam Militer Kekaisaran Romawi
Menurut Christina, jauh sebelum menggunakan simbol elang, tentara Romawi menggunakan ikatan jerami sederhana di atas tongkat sebagai standar mereka.
Seiring berjalanya waktu, simbol paling awal tersebut berevolusi menjadi hewan-hewan sangar seperti elang, serigala, minotaur, kuda, dan babi hutan. Tiap-tiap legiun memiliki lambang hewannya sendiri.
Setelah menerima kekalahan telak di Pertempuran Arausio pada 105 SM, militer Romawi mengevaluasi kembali strateginya. Hal ini menyebabkan reformasi yang signifikan di bawah Konsul Gaius Marius.
“Marius, yang mempelopori transformasi ini, menetapkan elang sebagai satu-satunya lambang bagi pasukan militer, dan menyingkirkan hewan-hewan lainnya,” jelas Christina.
Keputusan ini sangat strategis. Tak hanya agar terlihat gagah, namun juga bertujuan untuk menanamkan atribut keberanian dan dominasi elang ke dalam identitas inti legiun.
Sejak saat itu, pada pertengahan periode Republik, Aquila perunggu atau perak dengan sayap terentang menjadi simbol standar kekuatan militer Romawi.
Hingga hari ini, lambang elang masih menjadi simbol warisan Romawi yang paling khas dan bertahan lama. Keberadaannya mengingatkan kita akan masa kejayaan Kekaisaran Romawi yang megah dan abadi.