Sepanjang 1945–1949, berbagai diplomasi diadakan dalam sejarah Indonesia. Perjanjian-perjanjian politik itu pernah membentuk perbatasan antara kuasa Republik Indonesia dan Belanda. Kalangan militer dari kedua belah pihak harus berpindah untuk menghormati kesepakatan.
Akan tetapi, garis demarkasi ini kerap dilanggar. Dalam narasi sejarah Indonesia, Belanda sering melanggar. Begitu pula dalam sejarah Belanda, kalangan Indonesia melanggar perbatasan demarkasi.
"Regu pembunuh" aktif di kawasan militer Belanda selama periode ini untuk mengantisipasi pergerakan pejuang Republik. Anehnya, mereka juga aktif di garis demarkasi sisi Indonesia.
Melansir Historiek, aktivitas ini mengejutkan karena Belanda sendiri sering mengeluhkan pelanggaran yang dilakukan di garis gencatan senjata tersebut. Bisa jadi, pelanggaran-pelanggaran di sekitar perbatasan disebabkan oleh aktivitas "regu pembunuh" ini untuk provokasi.
Aktivitas mereka tidak luput dari militer resmi Belanda atau KNIL. Misalnya, salah satu kesaksian tentara dalam buku Limpach menyatakan, “Ternyata pasukan kejut kampung ini juga sudah lewat, karena ada beberapa mayat di sepanjang jalan (. . .)”
Regu yang dibentuk oleh badan intelijen ini melakukan pekerjaan kotor KNIL. Mereka yang terdiri dari kalangan pribumi sangat diandalkan karena mengetahui bahasa, budaya, dan adat istiadat, dibandingkan serdadu Belanda.
Diperkirakan ada sekitar 5.000 orang dari 220.000 tentara KNIL bekerja sebagai "regu pembunuh". Mereka dapat beraksi di luar tindakan hukum, termasuk kekerasan ekstrem yang dilakukan militer Belanda dalam sejarah Indonesia.
Intelijen Kontraproduktif
Bagaimanapun, perang kemerdekaan Indonesia dimenangkan oleh Republik. Perang ini melibatkan intelijen pada kedua belah pihak.
Penugasan tentara intelijen, termasuk "regu pembunuh" ini dinilai sebagai hal yang kontraproduktif, menurut Limpach. Kekerasan yang dilakukan mereka membuat tawanan memberikan informasi yang buram kebenarannya.
Hal ini disebabkan personel intelijen Belanda terlalu sedikit, kurang terlatih, dan kurang berpengalaman. Terlebih, mereka sangat mengandalkan kelompok senyap mereka yang diisi sebagian besar kalangan pribumi.
Kondisinya berbeda dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kelompok tempur ini berperilaku dengan baik dan mendapatkan hati sebagian besar masyarakat di Indonesia.
TNI bisa berbahasa Belanda dan menggali informasi tentang militer Belanda dengan cara apa pun, tanpa konfrontasi. Salah satu cara intelijen TNI adalah menggunakan perempuan pelacur yang sangat penting dan tidak disadari oleh militer Belanda.