Nationalgeographic.co.id—Hewan peliharaan adalah sahabat pemiliknya. Bahkan, bagi beberapa orang, kedekatan dengan hewan peliharaan bisa lebih intim ketimbang sesama manusia. Sayangnya, tidak sedikit juga manusia yang keji terhadap hewan peliharaannya. Kekerasan terhadap hewan peliharaan pun dipertontonkan di media sosial.
"Katanya, dalam sebuah riset, kekerasan terhadap hewan punya dampak buruk perilaku seseorang ke orang lain," kata Karin Franken, Founder Jakarta Animal Aid Network (JAAN). "Apa lagi kalau pelakunya anak-anak. Itu akan terus begitu ketika besar. Tadinya tega ke hewan pelihara, lalu tega ke orang sekitarnya."
Ide tentang kekejaman pada hewan berimbas pada tindak kekerasan sesama manusia sudah diteorikan oleh psikiatri University of Colorado School of Medicine John M. MacDonald dalam "The Threat to Kill". Tulisan yang diterbitkan pada 1963 ini menjelaskan bahwa kekerasan ditimbulkan kondisi psikologis yang terbiasa menganiaya spesies tidak berdaya: hewan.
Kajian ini ditinjau oleh banyak ilmuwan pada masa-masa selanjutnya. Bahkan, Biro Investigasi Federal AS (FBI) pun melakukan risetnya. Riset mereka menjadi pertimbangan untuk penegakan hukum kekerasan terhadap hewan, dan mempertimbangkan potensi tindak kriminal sesama manusia.
Hukum yang Tak Berpihak pada Hewan Domestik
"Hukum di Indonesia memandang hewan peliharaan adalah properti," kata Adrian Hane, advokat pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Perlindungan Hewan dan Penasihat & Advokasi Hukum JAAN. Menurutnya, hal ini yang menghambat proses perlindungan hewan domestik di Indonesia.
"Padahal hewan itu makhluk bernyawa. Mahluk hidup. Harusnya setiap kasus mengenai makhluk hidup itu bisa ditangani. Makhluk bernyawa seperti manusia lain," terang pria yang biasa disapa Adhy. Negara-negara lain seperti AS, Inggris, Selandia Baru telah lebih dulu mengambil perspektif hukum hewan sebagai makhluk hidup.
"Ini PR besar kita terutama untuk lawyer untuk melobi pemerintah," lanjutnya. Jika perspektif hukum hanya memandang hewan peliharaan sebagai properti, penanganan kasus ditangani berdasarkan kerugian material.
Penyelesaian kasus kekerasan terhadap hewan peliharaan lebih banyak diselesaikan secara kekeluargaan. Pasalnya, hewan peliharaan biasanya memiliki nilai properti di bawah Rp2,5 juta, yang dianggap oleh Mahkamah Agung disarankan melalui proses restorative justice.
"Pelaku dan pemilik hewan disuruh berdamai. Yang paling sering terjadi adalah pelakunya bayar denda atau diselesaikan kekeluargaan damai, lalu pelakunya bebas [dari sanksi]," lanjut Adhy.
Padahal di Indonesia memiliki beberapa dasar hukum yang membahas tentang kekerasan terhadap hewan. Di antaranya seperti Pasal 66 (2) c UU No. 18 Tahun 2000 Jo. UU No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ada pula pidananya dalam Pasal 302 KUHP yang memberi ancaman pidana penjara tiga bulan.
Upaya Penegakkan Hukum Kekerasan Terhadap Hewan
Penanganan kasus kekerasan terhadap hewan lebih sering dilakukan oleh berbagai komunitas seperti Koalisi Perlindungan Hewan Indonesia (KPHI), dan Dog Meat Free Indonesia (DMFI). JAAN turut berkontribusi dalam aktivitas ini yang juga melibatkan pihak kepolisian.
Namun, Adhy mengungkapkan bahwa pihak penegak hukum sendiri tidak begitu serius menangani kasus kekerasan terhadap hewan. Hal ini disebabkan perspektif di pihak kepolisian sendiri kasus kekerasan terhadap hewan dianggap sebagai perusakan properti.
Karin dan Adhy pernah melakukan beberapa penyelesaian kasus kekerasan terhadap hewan. Salah satunya adalah investigasi rumah jagal anjing di Sukoharjo, Jawa Tengah pada November 2021.
Sekitar 53 ekor anjing berhasil diselamatkan. Kedua pihak pelaku tertangkap basah yang sehingga mendapat sanksi pidana. "Anjing-anjing itu dikirim ke Amerika Utara. Mereka mendapatkan rumah baru yang mau merawat mereka lebih baik," kata Karin. Dia bersama rekan-rekan di JAAN menyediakan tempat penampungan bagi 45 anjing yang akan menemui pemilik barunya.
"Ini adalah kasus yang menarik. Untuk pertama kalinya pemilik rumah jagal bisa dipidana. Sebuah kemajuan untuk perlindungan hewan," kesan Adhy.
Kemenangan ini didasari oleh peraturan Kementerian Pertanian yang menentukan hewan seperti anjing dan kucing bukanlah jenis ternak, melainkan peliharaan. Penjagalan terhadap hewan domestik ini merupakan pelanggaran hukum. Selain itu juga, konsumsi terhadap hewan domestik bisa menyebabkan penyebaran virus zoonosis.
Adhy berharap, proses penanganan kekerasan terhadap hewan harusnya difasilitasi oleh pemerintah lewat undang-undang dan penegakkan hukum. Dia menyarankan agar terdapat komisi tertentu yang bergerak di bidang perlindungan hewan. Pihak kepolisian pun sebaiknya memiliki divisi untuk kasus seperti ini.
"Sebenarnya, punya korelasi dengan kehidupan berbangsa dan moralitas negara juga. Negara yang beradab bisa dilihat dari bagaimana memperlakukan hewan," kata Adhy. "Di berbagai negara internasional, komisi khusus untuk hewan itu jadi standar."