Nationalgeographic.co.id—Di tengah sungai Siberia, jauh dari peradaban, terdapat sebuah pulau yang disebut oleh orang-orang sebagai Pulau Nazino. Saat ini, Nazino adalah tempat yang tenang, namun tidak dengan sejarahnya yang kelam, pulau ini dikenang sebagai "Pulau Kanibal".
“Orang-orang menangkap gadis itu, mengikatnya di pohon poplar, memotong payudaranya, otot-ototnya, semua yang bisa mereka makan, semuanya, semuanya,” kenang seorang saksi mata, yang pernah hidup di Pulau itu.
Pada Mei 1933, lebih dari 6.000 orang dikirim ke pulau ini untuk membangun permukiman. Proyek ini adalah bagian dari sistem penjara gulag yang digagas oleh Joseph Stalin.
Dengan panjang sekitar tiga kilometer dan panjangnya yang tak mencapai satu kilometer, tentu akan menjadi padat setelah menampung ribuan orang.
Seolah takdir para tahanan belum cukup pahit, di ruang yang sangat sempit, mereka harus mampu bertahan hidup dengan tempat perlindungan dan makanan yang sangat minim. Hal inilah yang memaksa mereka melakukan tindakan ekstrem dan kejam untuk menyambung hidup.
Hanya dalam waktu tiga hari, menurut Kaleena Fraga, penulis sejarah dari New York, Amerika, banyak para tahanan yang mulai beralih ke kanibalisme
“Di antara itu semua, penyakit, dan kelaparan, hanya 2.000 tahanan yang masih hidup saat Soviet menutup pulau itu pada Juli,” kata Fraga.
Meskipun laporan tentang apa yang terjadi di Pulau Nazino pada awalnya disembunyikan dari publik, kengerian yang terjadi di sana akhirnya terungkap.
Mengirim Tahanan Soviet ke Pulau Nazino
Kisah tentang bagaimana Pulau Nazino dikenal sebagai Pulau Kanibal dimulai dari diktator Soviet Joseph Stalin. Setelah ia mengambil alih kekuasaan setelah kematian Vladimir Lenin, Stalin memperluas jaringan gulag Soviet, kamp kerja paksa di mana pemerintahnya dapat mengirim siapa pun yang dianggap "tidak diinginkan."
“Kamp-kamp ini memiliki tujuan ganda,” kata Fraga. Tidak hanya menyingkirkan orang-orang yang "tidak diinginkan" dari masyarakat Soviet, tetapi juga, “secara teori, dapat menciptakan komunitas mandiri di pelosok-pelosok Uni Soviet.”