Biru Maya, Warna Suci yang Melambangkan Dewa Hujan di Peradaban Maya

By Sysilia Tanhati, Sabtu, 6 April 2024 | 09:53 WIB
Pada sebuah situs pengurbanan manusia di Chichen Itza, ilmuwan menemukan salah satu pencapaian teknologi dan artistik terbesar Mesoamerika: Biru Maya atau azul maya yang misterius. (National Museum of Anthropology)

Nationalgeographic.co.id—Di Semenanjung Yucatán di Meksiko, terdapat sebuah situs yang pernah menjadi pusat ritual pengurbanan Maya. Situs itu berupa gua vertikal di Chichen Itza. Lubang pembuangan alami ini menyimpan rahasia pengurbanan manusia dan semangat keagamaan yang terus membuat penasaran sejarawan.

Ilmuwan juga menemukan salah satu pencapaian teknologi dan artistik terbesar Mesoamerika: Biru Maya atau azul maya yang misterius.

Warna Biru Maya untuk dewa hujan

Biru Maya adalah warna biru kehijauan yang cerah, mengingatkan pada perairan Karibia. Telah ditemukan pada berbagai artefak Maya, termasuk tembikar, mural dan patung. Semua artefak itu berasal dari antara tahun 300 dan 1500 Masehi. Pigmen buatan dihasilkan dari perpaduan nila dan palygorskite di atas suhu rendah sehingga membuatnya sangat tahan terhadap perjalanan waktu. Palygorskite merupakan sejenis tanah liat.

Pertama kali dibuat oleh peradaban Maya, warna biru ini membuat bingung ilmuwan sejak pertama kali ditemukan pada 1930an. Sintesisnya dipuji sebagai keajaiban alkimia, dengan para peneliti menguraikan komponennya pada tahun 1960an.

Biru adalah warna suci pengorbanan di kalangan Maya kuno, melambangkan dewa hujan Chaac. Persembahan manusia, dihiasi dengan warna biru, dibuat untuk menenangkan Chaac selama musim kemarau. Ritual dan persembahan diberikan untuk meminta curah hujan. Teks abad ke-16 bahkan menggambarkan adegan pengorbanan di Chichen Itza di mana para korban dicat biru sebelum ritual kematian mereka.

Mengungkap rahasia Biru Maya di situs pengurbanan Chichen Itza

Lubang Suci Chichen Itza adalah lubang pembuangan berupa gua vertikal berdiameter 60 meter. Gua vertikal ini dipandang sebagai pintu gerbang ke dunia bawah. “Gua ini digunakan untuk melakukan pengurbanan selama masa kekeringan di era Maya,” tulis Cecilia Bogaard di laman Ancient Origins.

Gua tersebut terhubung ke piramida berundak yang ikonik di kota ini melalui jalan setapak setinggi 300 meter. Tujuan besarnya dikonfirmasi ketika Edward Herbert Thomson mengeruk lubang pembuangan tersebut pada tahun 1904.

Thomson menemukan serangkaian artefak. Termasuk banyak yang terbuat dari emas, batu giok, kayu, tekstil dan tembikar, serta puluhan kerangka manusia. Peran warna biru dalam ritual pengurbanan ini terlihat ketika Thompson mengamati lapisan sedimen biru. Lapisan itu setinggi lima meter dan melapisi kedalaman gua. Namun ia tidak memahami pentingnya hal tersebut pada saat itu.

Beberapa dekade kemudian, mangkuk keramik sederhana ditemukan di bagian bawah lubang pembuangan itu. Mangkuk tersebut merupakan kunci untuk mengungkap di mana, bagaimana, dan kapan warna biru Maya diproduksi. (John Weinstein / The Field Museum))

Beberapa dekade kemudian, mangkuk keramik sederhana ditemukan di bagian bawah lubang pembuangan itu. Mangkuk tersebut merupakan kunci untuk mengungkap di mana, bagaimana, dan kapan warna biru Maya diproduksi. Saat mengetahui bahwa mangkuk tersebut berisi dupa kopal, antropolog Dean Arnold tergerak dan hasilnya dipublikasikan di Antiquity pada tahun 2008.