Meriset Penyakit Zoonotik di Indonesia dan Mengendalikan Penyebarannya

By Utomo Priyambodo, Senin, 8 April 2024 | 10:00 WIB
Penyakit zoonotik atau zoonosis terjadi karena virus, bakteri, parasit, atau jamur yang menyebar antara hewan dan manusia. (Shutterstock)

Nationalgeographic.co.id—Sejumlah penyakit zoonotik atau penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia, terus meneror dunia. Beberapa penyakit zoonotik atau zoonosis yang ada di Indonesia antara lain rabies, antraks, avian influenza, dan helminthiasis.

Pusat Riset Veteriner (PRV) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terus melakukan penelitian terkait zoonosis yang ada di Indonesia tersebut. Berikut ini adalah rangkuman riset yang sedang dilakukan para peneliti PRV BRIN dalam upaya mengendalikan penyakit zoonotik.

1. Rabies

Pemberantasan rabies dapat dilakukan melalui dua pendekatan. Yaitu, berdasarkan pendekatan zona dan pendekatan tahapan.

Pendekatan zona dapat ditentukan dari kondisi geografis terjadinya kasus rabies. Adapun pendekatan tahapan dilakukan dengan mengadopsi stepwise approach towards rabies elimination (SARE).

“SARE dikembangkan sebagai alat perencanaan, pemantauan, dan evaluasi One Health yang praktis untuk memandu, mengembangkan, dan menyempurnakan program pengendalian rabies,” kata Agus Wiyono, peneliti PRV BRIN.

Menurutnya, beberapa kajian riset pengendalian rabies masih dibutuhkan. Di antaranya terkait kebutuhan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, sumber dana, serta kebutuhan untuk tindakan kewaspadaan. Misalnya, dengan membangun sistem peringatan dini (early warning system) rabies.

“Untuk alternatif topik riset yang masih diperlukan dapat melakukan kajian performance veterinary service. Selain itu, topik riset disease modeling, perencanaan dan penganggaran yang evidence based juga menjadi alternatif kajian yang masih sangat dibutuhkan,” tutur Agus.

2. Antraks

Di Indonesia, hewan yang terinfeksi antraks mayoritas dikubur. Karena jika dibakar, akan memakan biaya besar.

Pengendalian antraks dapat dilakukan dengan menerapkan tata laksana hewan hidup dan lingkungan yang tercemar. Upaya lain untuk pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan melakukan vaksinasi terhadap hewan.

“Khusus untuk hewan yang dikirim dari daerah terkontaminasi antraks harus divaksin minimal 20 hari dan maksimal enam bulan sebelum didistribusikan,” ujar Rahmat Setya Adji, peneliti lainnya di PRV BRIN.