Upaya Menyelamatkan Petra dari Kehancuran akibat Perubahan Iklim

By Sysilia Tanhati, Sabtu, 27 April 2024 | 11:00 WIB
Perubahan iklim menjadi ancaman bagi banyak hal, termasuk situs bersejarah seperti Petra. Apa yang dilakukan ilmuwan dan masyarakat sekitar untuk melindungi Petra dari kehancuran akibat perubahan iklim? (Abdullah Ghatasheh/Pexels)

Baru-baru ini pada bulan Desember 2022, dinding air bergerak cepat mengalir melalui ngarai sempit Petra. Air berlumpur mengalir hingga ke tangga Treasury yang ikonik. Tresury adalah sebuah bangunan kuno yang dipopulerkan sebagai eksterior dalam Indiana Jones and the Last Crusade.

“Air datang dari empat arah, langsung masuk ke Treasury,” kata Taher Falahat, pakar warisan budaya di Otoritas Regional Pariwisata Pembangunan Petra. Lembaga tersebut mengelola wilayah Petra dan sekitarnya.

Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Nabatean juga harus menghadapi masalah banjir musiman dan kekeringan. Suku Nabatean adalah pedagang gurun pasir yang menguasai wilayah tersebut hingga sekitar tahun 300 M. Mereka menjadi penghubung utama dalam perdagangan barang-barang mewah antara Kekaisaran Romawi dan tetangga mereka di sebelah timur.

Ciri-ciri yang menjadikan kawasan di sekitar Wadi Musa menarik bagi masyarakat Nabatean kuno—ngarainya yang berkelok-kelok, puncak dan dataran tinggi yang tinggi, serta lembah yang dilindungi—juga menjadikannya rentan terhadap banjir saat ini. “Mereka menghadapi masalah yang sama, topografinya sama,” kata Falahat.

Para arkeolog telah menghabiskan waktu puluhan tahun menelusuri cara masyarakat Nabatean mengelola air di wilayah tersebut. Mereka menemukan bahwa suku Nabatean menciptakan sistem teras dan bendungan kecil yang saling terkait. Fungsinya adalah untuk membuat Petra kuno tahan banjir. Sistem rumit ini menyalurkan air melalui banyak jurang dan ngarai di dalam dan sekitar Petra dan Wadi Musa. Bendungan memperlambat aliran air yang menyebabkan banjir, menyalurkannya ke kolam penyimpanan. Sementara itu, terasering menyerap air dan menyediakan ruang untuk bercocok tanam.

Setelah kerajaan Nabatean runtuh pada abad keempat Masehi, sistem tersebut terbengkalai dan mengalami kerusakan. Petra kemudian ditemukan kembali oleh para arkeolog dan dikembangkan sebagai tujuan wisata pada abad ke-20. Namun para peneliti mengabaikan bendungan tersebut dan malah berfokus pada arsitektur megah yang membelah tebing ngarai Petra.

“Sistem itu telah ditinggalkan selama ribuan tahun,” kata Falahat. “Semua masih di sana, tapi baru saja hancur.”

Sebuah solusi kuno untuk masalah modern

Rencana untuk menghidupkan kembali situs-situs tersebut merupakan bagian dari rekomendasi upaya baru yang didanai National Geographic Society. Tujuannya adalah untuk membantu Petra dan situs warisan budaya lainnya di seluruh dunia beradaptasi terhadap perubahan iklim. Disebut Preserving Legacies (Melestarikan Warisan), proyek ini bertujuan membantu masyarakat melindungi situs warisan mereka dari perubahan iklim.

“Kami membangun model iklim lokal dan berbicara dengan tokoh masyarakat tentang hal-hal yang paling penting untuk diselamatkan,” kata pemimpin proyek, ahli geografi, dan Penjelajah National Geographic, Victoria Herrmann.

Hal ini adalah upaya yang sangat penting. Seiring dengan perubahan iklim bumi, peristiwa yang terjadi sekali dalam satu abad kemungkinan akan sering terjadi. Seperti banjir mematikan yang melanda Petra pada tahun 1963. Curah hujan di wilayah tersebut diperkirakan meningkat sebesar 40 persen pada tahun 2050.

“Banjir, yang selalu terjadi menjadi bagian dari cerita Petra, akan menjadi lebih intens,” kata Herrmann.