Nationalgeographic.co.id - Membungkuk dengan hormat di gerbang kuil. Bersihkan tangan dan mulut di air mancur. Bunyikan belnya. Tinggalkan kertas berisi nama dan keinginan Anda di aula utama. Nyalakan lilin dan tiga batang dupa. Lalu lempar koin ke dalam kotak persembahan dan lantunkan sutra (kitab). Dapatkan stempel di buku ziarah Anda. Keluar dari gerbang dan membungkuk lagi. Ikuti penanda merah ke kuil berikutnya.
Ulangi hingga 87 kali.
Di Shikoku Henro, salah satu jalur ziarah terpanjang di Jepang, terdapat banyak adat istiadat kuno. Namun hanya sedikit peraturan yang tegas. Anda bahkan tidak perlu berjalan kaki. Banyak orang Jepang sekarang menggunakan mobil atau bus wisata. Yang lain naik kereta api atau sepeda.
Anda dapat melewati jalur berlawanan arah jarum jam, bukan searah jarum jam. Atau membagi rute menjadi beberapa segmen. Anda dapat mengenakan rompi putih tradisional atau berpenampilan bak pendaki gunung profesional.
“Buddhisme lebih merupakan cara hidup alih-alih agama yang memberi tahu Anda apa yang bisa atau tidak bisa Anda lakukan,” kata David Moreton, peneliti yang mengkhususkan diri pada Henro di Shikoku. “Namun, menunjukkan rasa hormat itu penting.”
Minat wisatawan terhadap jalan kaki jarak jauh berada pada titik tertinggi sepanjang masa. Camino de Santiago yang terkenal di Spanyol mencatat rekor 446.000 peziarah di tahun 2023. Henro memang tidak mendapatkan pengunjung sebanyak rute Camino de Santiago. Akan tetapi jumlah pejalan kaki dan pengunjung asing tampaknya terus meningkat.
Rute melingkar ini melintasi keempat prefektur di Shikoku, pulau terbesar keempat di Jepang. Jalan menuju pencerahan melintasi pertanian, jalan raya yang sibuk, dan jalan-jalan pinggiran kota yang diselingi oleh mesin penjual otomatis. Rute ini juga memperlihatkan pemandangan pantai dan lanskap Zaman Edo seperti yang dilukis pada cetakan balok kayu Hiroshige.
Mengunjungi jalur 88 kuil di Shikoku
Tempat yang paling jelas untuk memulai adalah Kuil 1, di Prefektur Tokushima di timur laut pulau itu. Jun Hashiba, seorang pemandu untuk perusahaan tur, berusaha menjawab pertanyaan tentang jalur 88 kuil ini kepada National Geographic. Ia menjelaskan bagaimana seorang biksu Jepang yang lahir pada abad kedelapan mengilhami pengembangan rute sepanjang 1.127 km itu. Seribu tahun kemudian, rute yang masih terdiri dari 88 kuil ini masih dijalani.
“Semua orang mengenal Kukai; kami mempelajarinya di sekolah,” kata Hashiba.
Lahir di pulau ini, Kukai mendirikan salah satu sekte Buddha paling populer di Jepang, yang disebut Shingon. Dia dihormati, tetapi bukan hanya karena ajaran esoterisnya.
“Kami sangat mengagumi kemampuannya sebagai penyair, cendekiawan, dan seniman. Dia ahli kaligrafi yang hebat,” kata Hashiba. Prestasi Kukai di kehidupan nyata berubah menjadi legenda dan akhirnya memopulerkan rute saat ini.
Bagian sepanjang 6,4 km dari Kuil 20 hingga Kuil 21 dipenuhi dengan pohon cemara, kayu cedar, dan bambu setinggi katedral. Batu-batu besar yang dirangkai dengan tali, perwujudan para dewa, menemani peziarah. Begitu pula patung batu berhiaskan warna merah terang, yang disebut jizo, yang merupakan penjaga anak-anak dan pelancong.
Kukai, yang juga disebut Kobo Daishi, juga ada di sini. Ia dipersonifikasikan dalam tongkat berjalan peziarah yang bertuliskan kata-kata yang berarti “bepergian bersama”.
“Saat saya berjalan, terkadang saya berpikir terlalu banyak, tapi saya terus berjalan. Dan kemudian saya tidak memikirkan apa pun—dalam arti yang baik,” kata Tomoko Imaizumi kepada Norie Quintos di National Geographic. Imaizumi adalah seorang pemandu yang telah melakukan ziarah sebanyak empat kali.
Di Kuil Naga Agung (21) mudah untuk melihat mengapa begitu banyak agama membangun altar mereka di atas gunung. Dalam tulisannya, Kukai mengaku pernah mendaki puncak bukit dan melantunkan mantra jutaan kali. Terlepas dari ketidakjelasan ajaran Buddha Shingon, intinya adalah bahwa segala sesuatu adalah bagian dari keseluruhan kosmis. Dan pencerahan dapat dicapai oleh orang-orang biasa.
“Saya mendapat banyak berkah dari Henro,” kata Kizumi, wanita yang ditemui oleh penulis di di Kuil 6 (Kuil Kegembiraan Abadi).
Budaya kebaikan di jalur kuno
Memang benar, para peziarah di sepanjang jalan selalu berbicara tentang kebaikan penduduk setempat. Inilah budaya osettai, ciri unik ziarah Shikoku.
“Saya mengalami hal ini hampir setiap hari sebagai peziarah,” kata Imaizumi. “Biasanya itu jeruk mandarin atau manisan. Suatu kali seorang wanita menghentikan mobilnya dan melompat keluar untuk memberi saya 300 yen.”
Dekat dengan Kuil Puncak Hering (1), kelompoknya bertemu Ranshu Yano, ahli seni ai-zome yang semakin berkurang. Wilayah Tokushima menghasilkan nila alami untuk pewarnaan. Tekstil nila pernah digunakan dalam pakaian samurai.
Yano mengundang untuk berkunjung ke bengkelnya untuk menyaksikan sebagian dari proses yang melelahkan. Dia membuka tutup tong besar. Rebusan biru perlu diperiksa, diaduk, dan dibiarkan berfermentasi.
“Itu adalah makhluk hidup,” katanya sambil mengangkat tangan birunya secara permanen. “Saya harus merasakannya.” Tekstil yang sudah jadi dibuat menjadi kimono yang indah.
Di Henro, hadiah datang dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah kesempatan untuk berhubungan dengan orang-orang yang masih terikat dengan tanah, seni, dan tradisi yang ditinggalkan di tempat lain.
“Orang-orang telah melakukan apa yang saya lakukan selama seribu tahun,” kata Yano. “Saya berdiri di tengah, antara masa lalu dan masa depan.”