Para ilmuwan percaya bahwa TItanoboa adalah predator yang tangguh. Namun alih-alih mengandalkan racunnya yang berbisa, ular raksasa ini menggunakan kekuatan luar biasa untuk menghabisi nyawa para korbannya. Mangsanya termasuk penyu raksasa dan buaya. Hal ini mengingatkan kita pada anaconda zaman modern yang juga memanfaatkan kekuatannya untuk mendapatkan mangsa.
Titanoboa: menggali rahasia kuno Kolombia
Penemuan Titanoboa dilakukan pada dekade pertama abad ke-21 di Cerrejon, sebuah tambang batu bara di bagian utara Kolombia. Pada tahun 2009, penemuan itu diberi nama Titanoboa cerrejonensis, yang berarti Titanoboa dari Cerrejon.
Pada tahun 1994, ahli geologi Kolombia Henry Garcia menemukan fosil asing yang ia beri label cabang yang membatu. Setelah itu, ia menempatkan fosil temuannya di salah satu etalase perusahaan batu bara.
Ketika mahasiswa geologi sarjana Kolombia bernama Fabiany Herrera berada di Cerrejon tahun 2003, ia menemukan sisa-sisa tumbuhan yang membatu. Karena kawasan tersebut belum pernah dieksplorasi sebelumnya oleh ahli paleontologi, ekspedisi pun segera dilakukan. Salah satu peneliti yang diundang untuk mengikuti ekspedisi tersebut adalah Scott Wing. Ia adalah kurator fosil tumbuhan di Museum Nasional Sejarah Alam Smithsonian.
Wing-lah yang menyadari bahwa fosil Garcia bukan berasal dari tumbuhan. Dia mengirimkan fotonya ke ahli lain, ahli paleontologi Universitas Florida Jonathan Bloch. Bloch mengidentifikasi fosil tersebut sebagai tulang rahang hewan darat.
Temuan itu menjadi berita yang menggembirakan. Pasalnya, fosil vertebrata darat dari zaman Paleosen belum pernah ditemukan di wilayah Amerika Selatan sebelumnya. Para peneliti berhipotesis bahwa lebih banyak fosil hewan serupa dapat ditemukan di situs tersebut. Dan hal ini terbukti benar. Pelestariannya sebagian besar disebabkan oleh perairan rawa yang mereka tinggali, yang memfasilitasi proses fosilisasi yang luar biasa.
Mengidentifikasi ular monster Titanoboa
Baru pada tahun 2007 tulang belakang Titanoboa diidentifikasi saat pemeriksaan kiriman bertanda “buaya”. Penemuan ini mendorong ekspedisi baru untuk mencari lebih banyak tulang belakang. Akhirnya, ahli paleontologi mengumpulkan 100 tulang ular dari 28 individu, memungkinkan mereka memperkirakan ukuran ular prasejarah tersebut.
Pada tahun 2012, penemuan penting lainnya tentang Titanoboa terjadi ketika ahli paleontologi menemukan tengkorak ular. Penemuan seperti itu sangat jarang terjadi, karena tengkorak ular sangat rapuh dan biasanya hancur setelah hewan tersebut mati.
Salah satu keistimewaan tengkorak ini adalah giginya yang rapat, bahkan lebih banyak daripada ular boa modern. Hal ini menyebabkan para ahli berspekulasi bahwa Titanoboa adalah pemakan ikan khusus. Meski begitu, mengingat ukurannya, Titanoboa bisa dengan mudah memangsa penyu dan buaya prasejarah. “Keduanya hidup di habitat yang sama dengan ular ini,” ungkap Mingren.
Cerita rakyat asli Amazon memasukkan gambaran makhluk mirip ular raksasa yang berkeliaran di sungai dan saluran airnya. Seperti di Yacumama, Boitata, dan Cobra Grande. Namun Titanoboa hanya diketahui dari catatan fosil. Dan tidak ada indikasi bahwa spesies serupa ada di wilayah tersebut di ekosistem Amazon saat ini. Namun demikian, beberapa orang percaya bahwa Titanoboa masih bertahan hidup jauh di dalam Amazon.