Nationalgeographic.co.id—Ketika erupsi hebat, gunung berapi dapat menghasilkan badai petir dari awan vulkanik. Badai petir ini bisa terlihat pada erupsi Gunung Sinabung di Sumatra Utara, atau yang terbaru pada Gunung Ruang di Sulawesi Utara. Tidak jarang, badai petir bisa muncul pada erupsi yang lebih kecil seperti Gunung Anak Krakatau, Lampung.
Lantas, bagaimana penjelasan ilmiahnya? Seperti kilat yang muncul dari cuaca badai, cahaya mendahului suara. Kilatan badai dari awan erupsi akan mendahului suara ledakan vulkanik sekitar lima hingga 10 detik.
Awan abu dari gunung berapi mengandung banyak materi. Setiap materi memuat elektron yang punya daya tarik berbeda satu sama lain. Karena perbedaan ini, kelebihan elektron pada suatu materi bisa berpindah pada materi yang kekurangan elektron.
Fenomena "tarik dan menukar" elektron ini bisa terjadi di dalam awan, karena setiap materinya bisa bergesek atau bertabrakan.
Hal serupa juga terjadi ketika petir bisa timbul di awan mendung. Saat badai petir yang sering dilihat pada awan mendung, badai petir bersamaan angin kencang menyebabkan partikel es di awan saling bertabrakan.
Inilah yang menyebabkan elektron-elektron muatan bisa terlepas. Materi yang memiliki muatan berlebih, elektronnya akan "lompat". Lompatan ini yang menyebabkan kilat yang sering kali tetap berada sepenuhnya di dalam awan.
Ronald J. Thomas, peneliti atmosfer dari New Mexico Institute of Mining and Technology menyelidiki pelbagai kilatan pada. Pada Januari 2006, dia menyelidiki fenomena ini pada Gunung St. Augustine di Alaska dengan memasang dua alat ukur sekitar 100 kilometer dari gunung berapi.
Dari pengamatan awal dari letusan Gunung St. Augustine, dia melihat kilatan energi yang sangat besar. Dari sini, Thomas menyimpulkan bahwa materi gunung berapi atau tefra panas sudah memiliki muatan positif yang kuat saat menuju kawah dari lorong magma.
Gunung berapi punya banyak material vulkanik. Gunung yang erupsi menyemburkan materi dengan kecepatan tinggi yang menyebabkan gesekan dan tumbukkan. Petir dapat terjadi ketika elektron berpindah karena perbedaan muatan negatif dan positif ini.
Thomas mempublikasikan temuannya di jurnal Science pada 2007 dengan makalah bertajuk "Electrical Activity During the 2006 Mount St. Augustine Volcanic Eruptions".
Ada kasus menarik yang dia lihat pada erupsi Gunung St. Augustine. Thomas menemukan fenomena ketika petir menyambar sepanjang empat kilometer. Sambarannya naik dari puncak gunung berapi ke langit, lalu bergerak secara horizontal menghantam awan abu yang melayang.
Fenomena ini menunjukkan bahwa muatan negatif terbentuk di puncak gunung. Namun, muatan negatif ini terangkat ke awan abu yang bermuatan positif.
Pengaruh Atmosfer dan Lingkungan Sekitar
Tidak semua erupsi gunung berapi menyebabkan petir. Penyebab adanya petir juga bisa dipengaruhi oleh atmosfer dan lingkungan sekitar.
Sebuah penelitian di Geophysical Research Letters tahun 2011 bertajuk "Volcanic Hail Detected With GPS: The 2011 Eruption of Grímsvötn Volcano, Iceland" menyingkap, petir vulkanik bisa ada karena dipicu pengisian es di atmosfer. Petir bisa terbentuk karena udara hangat yang dihasilkan erupsi naik dan menghantam udara dingin di atmosfer.
Ada pula penyebab lingkungan sektiar, seperti ketinggian, dapat memicu petir vulkanik. Penelitian lainnya di jurnal Bulletin of Volcanology tahun 2010 bertajuk "Using lightning observations as a volcanic eruption monitoring tool" mengungkap, saat gunung berapi menghasilkan abu, konsentrasi uap air jadi lebih tinggi.
Peningkatan konsentrasi uap ini membuat awan vulkanik terisi dengan es. Gesekan es di dalamnya memicu aktivitas listrik seperti awan mendung. Jumlah kilat dan petir vulkanik bisa sangat mungkin terjadi jika abu vulkanik yang terkandung semakin banyak.