Nationalgeographic.co.id—Perang punya dampak pada pelestarian alam. Zat kimia yang dilontarkan dari senjata perang dapat menjadi emisi pemanasan global. Jumlah emisi ini meningkat selama dua bulan pertama perang di Gaza, Palestina, terhitung sejak 7 Oktober 2023.
Hampir setengah dari total emisi karbon dioksida berasal dari pesawat kargo AS yang menerbangkan pasokan militer ke Israel. Sementara roket Hamas yang ditembakkan ke Israel menghasilkan jumlah yang lebih rendah, yakni sekitar 713 ton karbon dioksida, atau setara pembakaran 300 ton batu batu bara.
Selama periode itu, kerugian iklim akibat perang, secara keseluruhan, setara dengan pembakaran sekitar 150 ribu ton batu bara.
Hal itu dilaporkan lewat makalah bertajuk "A Multitemporal Snapshot of Greenhouse Gas Emissions from the Israel-Gaza Conflict" di jurnal Social Science Research Network (SSRN), Januari 2024. Laporan ini hanya memberikan laporan dengan estimasi rendah, karena berdasarkan segelintir aktivitas terkait pada karbon dalam perang.
Dalam studi bertajuk Under the Radar: The Carbon Footprint of Europe's Military Sectors (2021), ilmuwan mengungkapkan bahwa sebenarnya jejak karbon pada perang atau kekuatan militer bisa lima hingga delapan kali lebih tinggi. Jumlahnya akan lebih banyak jika emisi dihitung dari seluruh rantai pasokan perang.
“Studi ini hanyalah gambaran singkat dari jejak perang militer yang lebih besar… gambaran sebagian dari emisi karbon yang sangat besar dan polutan beracun yang lebih luas yang akan tetap ada lama setelah pertempuran berakhir,” kata Benjamin Neimark, rekan penulis penelitian dan peneliti dari School of Business and Management di Queen Mary University of London, dikutip dari The Guardian.
Penelitian Januari ini memperhitungkan emisi kabon dioksida yang dihasilkan pesawat, tank, dan bahan bakar kendaraan lain terkait perang. Emisinya juga dihitung dari pembuatan dan ledakan bom, artileri, dan roket.
Dilansir dari The Guardian, data tersebut memberikan perkiraan pertama mengenai dampak karbon dari konflik di Gaza. Diperkirakan, dampak emisi perang di Gaza antara Israel dan Hamas akan menyebabkan penderitaan banyak masyarakat, kerusakan infrastruktur, dan bencana lingkungan "yang belum pernah terjadi selanjutnya".
Perang krusial bagi peradaban Bumi
Dua bulan pertama perang di Gaza ini adalah masa krusial. Sejak 7 Oktober, kedua belah pihak sangat aktif saling menyerang, ketimbang periode setelahnya.
Israel terus melakukan pengeboman di Gaza. Menurut otoritas kesehatan Palestina di Gaza, setidaknya hampir 23.000 warga Palestina telah tewas dan ribuan lainnya terkubur di bawah reruntuhan. Sebagian besar korban tewas ini adalah perempuan danak anak-anak.
Perang telah memaksa 85 persen populasi Palestina di Gaza mengungsi untuk keselamatan. Kondisi di Gaza juga tengah menghadapi kekurangan makanan dan air yang mengancam jiwa dan kesehatan jiwa, berdasarkan laporan beberapa lembaga di bawah PBB.
Di sisi lain, masih ada sekitar 100 sandera Israel yang ditawan Hamas di Gaza. Perlawanan Hamas di Gaza juga menyebabkan ratusan tentara Israel tewas.
Namun, dampak dari perang ini bisa menjadi petaka bagi peradaban Bumi dengan perubahan iklim. Setidaknya, ada 100.000 bangunan di Gaza yang rusak parah akibat perang, dalam laporan BBC.
Selain itu, antara 36 persen dan 45 persen bangunan di Gaza seperti rumah, masjid, rumah sakit, dan pertokoan rusak parah di Gaza. Kerusakan seperti itu menyebabkan pendorongan utama pemanasan global.
Belum lagi, bangunan-bangunan tersebut harus dibangun kembali demi menopang kehidupan. Dalam studi ini, para peneliti memperkirakan pembangunan sebanyak itu dengan teknik konstruksi kontemporer akan menghasilkan sekitar 30 juta metrik ton gas pemanasan. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan yang selama ini dihasilkan oleh 135 negara di dunia.
Gaza dan masyarakat Palestina akan sangat terdampak dari konsekuensi iklim yang disebabkan perang. Kenaikan permukan air laut, kekeringan, dan panas ekstrem telah mengancam pasokan ketahanan di Palestina.
“Serangan udara yang dahsyat di Gaza tidak akan hilang ketika gencatan senjata tercapai,” terangnya Zena Agha, analis kebijakandi yayasan hukum Palestina Al Shabka, dalam sebuah tulisan terkait krisis iklim dari pendudukan Israel.
“Sampah militer akan terus hidup di tanah, bumi, laut, dan tubuh warga Palestina yang tinggal di Gaza – sama seperti yang terjadi di wilayah pascaperang lainnya seperti Irak," lanjutnya.
Hal ini cukup dramatis, mengingat Israel juga mempromosikan industri teknologi iklim untuk penangkapan dan penyimpanan karbon, ketersdian air, dan alternatif daging nabati. Israel juga diketahui berkontribusi dalam solusi krisis iklim.
Akan tetapi, perang yang dilakukan Israel dengan serangan ke Gaza, kawasan secuil di dekat perbatasan Mesir, menghasilkan emisi gas rumah kaca yang besar.