Nationalgeographic.co.id—Era Dinasti Ming merupakan salah satu periode Kekaisaran Tiongkok yang paling bersejarah dan kaya akan budaya. Namun, Dinasti Ming menghadapi akhir yang menyedihkan pada abad ke-17. Dinasti yang berkuasa selama 276 tahun ini mengalami penurunan di tengah pusaran perselisihan internal, tekanan eksternal, dan bencana alam.
Era Ming memberikan gambaran tentang rapuhnya kekuasaan kekaisaran dan gelombang perubahan dapat melanda dinasti tangguh. Kejatuhan Dinasti Ming bukan sekadar kisah kemerosotan sebuah dinasti. Namun juga gambaran menarik tentang ambisi, ketahanan, dan perjalanan sejarah manusia yang tak terhindarkan.
Perselisihan internal dan gejolak ekonomi di era Dinasti Ming
Kemunduran Dinasti Ming dipicu oleh interaksi yang kompleks antara kelemahan internal dan tekanan eksternal. Semua itu secara bertahap mengikis fondasi Kekaisaran Tiongkok.
Pada tahun-tahun terakhirnya, dinasti ini dilanda korupsi yang merajalela dalam birokrasinya dan kepemimpinan kaisar yang tidak efektif. Mengutip dari laman Totally History, “Kaisar Tiongkok dari Dinasti Ming sering dimanipulasi oleh kasim istana yang berkuasa atau tidak terlibat dalam pemerintahan.” Hal ini menyebabkan krisis legitimasi dan pemerintahan.
Masalah-masalah ini diperparah oleh krisis fiskal yang melumpuhkan. Padahal kekaisaran sedang berjuang untuk mengelola keuangannya di tengah biaya pemeliharaan Tembok Besar, penanganan bencana alam, dan penggunaan perak.
Ketergantungan pada perak menimbulkan ketidakstabilan ekonomi. Selain itu juga menyebabkan meluasnya kemiskinan dan ketidakpuasan di kalangan petani. Pasalnya, inflasi membuat mereka semakin sulit membayar pajak.
Situasi ini semakin diperburuk oleh serangkaian bencana alam, termasuk banjir, kekeringan, dan kelaparan. Bencana alam menghancurkan tanaman pangan, membuat masyarakat terpaksa mengungsi, dan menyebabkan penderitaan dan kelaparan yang meluas.
Pemerintahan Ming tidak mampu menanggapi krisis-krisis ini secara efektif. Mereka tidak dapat memberikan bantuan yang memadai atau menjaga ketertiban sosial. “Hal tersebut akhirnya menyebabkan meningkatnya pemberontakan petani, yang dipicu oleh keputusasaan dan ketidakpuasan,” ungkap Kristoffer Uggerud di laman The Collector.
Jatuhnya Dinasti Ming bukanlah akibat dari satu penyebab saja. Tapi merupakan puncak dari perselisihan internal selama beberapa dekade, gejolak ekonomi, dan kegagalan beradaptasi terhadap perubahan keadaan. Kekacauan itu pun membuka jalan bagi kebangkitan Dinasti Qing. Dinasti Qing mewarisi tantangan dalam memerintah Kekaisaran Tiongkok. Di sisi lain, Qing juga mendapatkan warisan warisan budaya dan sejarah yang kaya dari Dinasti Ming.
Invasi Manchu
Jatuhnya Dinasti Ming secara dramatis dipercepat oleh kebangkitan bangsa Manchu dari timur laut. Bangsa Manchu, yang mendirikan Dinasti Qing, dengan cerdik memanfaatkan kelemahan Dinasti Ming. Mereka mengeksploitasi perpecahan internal dan ketidakpuasan yang meluas di kalangan masyarakat dan militer.
Pendekatan strategis Manchu melibatkan penaklukan militer dan membentuk aliansi dengan para jenderal Ming yang tidak puas. Mereka juga memanfaatkan ketidakpuasan di kalangan tentara Ming.
Invasi Manchu mencapai momen penting dengan jatuhnya Celah Shanghai pada tahun 1644. Celah Shanghai merupakan titik pertahanan penting yang menjaga gerbang timur laut ke jantung Tiongkok Ming. Hilangnya jalur strategis ini bukan hanya kekalahan militer. Hal ini juga melambangkan runtuhnya pertahanan Dinasti Ming dan membuka pintu air bagi Manchu untuk masuk ke jantung Tiongkok.
Pasukan Qing juga berhasil membuat jenderal-jenderal penting Ming memihak mereka. Tentu saja ini semakin melemahkan kohesi dan kemampuan tempur pasukan Ming.
Invasi ini ditandai dengan serangkaian gerakan yang diperhitungkan. Semua itu membuat Qing secara bertahap mengepung dan kemudian menembus jauh ke wilayah Ming dan merebut Beijing. Bangsa Manchu pun akhirnya mengumumkan berdirinya dinasti baru. Keberhasilan Dinasti Qing sebagian disebabkan oleh strategi militer mereka yang unggul. Sebagian lagi disebabkan oleh lemahnya Dinasti Ming. Dinasti Ming melemah karena terpecah oleh korupsi, kegagalan kepemimpinan, dan kurangnya kemauan untuk melakukan pertahanan elawan penjajah.
Dinasti Qing yang dipimpin Manchu tidak hanya menaklukkan Ming. Mereka juga mengadopsi dan mengadaptasi institusi dan adat istiadatnya. Dinasti Ming menampilkan diri sebagai penerus sah mandat surga. Strategi ini membantu mereka mendapatkan penerimaan di kalangan penduduk Tiongkok.
Transisi dari pemerintahan Ming ke Qing pada akhirnya mengarah pada periode stabilitas dan ekspansi. Semua itu membuat Kekaisaran Tiongkok mencapai puncak kemakmuran budaya dan ekonomi baru di bawah pemerintahan Dinasti Qing.
Dinasti Ming Selatan melakukan perlawanan
Setelah penaklukan Qing di Kekaisaran Tiongkok, sisa-sisa loyalis Ming mundur ke selatan. Mereka mendirikan apa yang oleh para sejarawan disebut sebagai Dinasti Ming Selatan. Era ini ditandai dengan upaya untuk merebut kembali kejayaan Dinasti Ming dan melawan kekuatan Qing yang melanggar batas.
Meskipun meraih kemenangan awal, Ming Selatan menghadapi banyak tantangan. Termasuk konflik internal mengenai kepemimpinan, kekurangan sumber daya, dan tekanan tanpa henti dari militer Qing. Pada akhirnya, semua itu menyebabkan kehancurannya pada pertengahan abad ke-17.
Pada tahun 1662, perlawanan terakhir Dinasti Ming dipadamkan dengan penangkapan dan eksekusi Kaisar Yongli, penggugat terakhir takhta Ming. Kematiannya menandai berakhirnya Dinasti Ming dan mengukuhkan dominasi Dinasti Qing atas Kekaisaran Tiongkok.
Aspirasi Ming Selatan untuk memulihkan kekuasaan Ming pada akhirnya digagalkan oleh kombinasi perselisihan internal dan tekanan eksternal. Juga oleh kekuatan luar biasa dari Dinasti Qing.