Nationalgeographic.co.id—Timnas Indonesia U-23 akan berhadapan Timnas Guinea U-23 untuk memperebutkan tiket ke Olimpiade Paris 2024. Ini adalah kesempatan terakhir Timnas Indonesia U-23 untuk mendapatkan jatah bertanding pada ajang yang akan diselenggarakan pada Juli hingga Agustus mendatang tersebut.
Yang menarik, Timnas Guinea U-23 diperkuat setidaknya oleh enam pemain yang bernama Camara. Nama lain yang cukup banyak dimiliki oleh laki-laki Guinea adalah Soumah, Keita, dan Cisse.
Lalu, kenapa banyak laki-laki di Guinea bernama Camara? Apakah kisah penyebabnya sama seperti halnya kenapa banyak pria Vietnam bernama Nguyen?
Menurut Dictionary of American Family Names, 2nd edition, terbitan Oxford University Press tahun 2022, nama belakang Camara memang banyak ditemukan di wilayah Afrika Barat. Terutama di negara-negara seperti Guinea, Senegal, Mali, dan Pantai Gading.
Nama Camara ini berasal dari salah satu nama marga di etnis Mandinka dan berkerabat dekat dengan suku Soninke. Beberapa nama depan yang umum disandingkan dengan nama belakang Camara di Afrika adalah Ousmane, Boubacar, Mamady, Aboubacar, Amadou, Bakary, Fatou, Babacar, Balla, Brahima, Sekou, Moussa, dan Hamidou.
Jadi, bisa dibilang nama Camara ini sama seperti halnya nama Nasution, Sitorus, Manurung, Sinaga, Sirait, Ginting, ataupun Simanjuntak yang banyak ditemukan di Sumatra Utara. Atau juga nama-nama marga lain yang memang jamak di wilayah-wilayah tertentu.
Di Guinea sendiri ada salah satu tokoh terkenal yang bernama Camara. Dia adalah Moussa Dadis Camara.
Nama Moussa Dadis Camara mencuat setelah Lansana Conte, presiden kedua Guinea, meninggal pada tahun 2008. Segera setelah berita kematian Conte dipublikasikan, sebuah faksi militer melancarkan kudeta dan mengumumkan bahwa mereka telah melakukan kudeta membubarkan pemerintah.
Dewan Nasional untuk Demokrasi dan Pembangunan (Conseil National pour la Démocratie et le Développement; CNDD), dengan Kapten Moussa Dadis Camara sebagai presiden, dibentuk untuk berfungsi sebagai pemerintahan transisi. CNDD berjanji untuk menyelenggarakan pemilu dalam waktu satu tahun dan berjanji untuk memerangi korupsi yang merajalela.
Berbagai pemerintah negara Afrika dan Barat mengecam kudeta tersebut. Dan Guinea untuk sementara ditangguhkan dari beberapa organisasi internasional.
Baca Juga: Babun Guinea Jantan Habiskan Waktu Bersama Pasangan daripada Teman
Pada bulan Agustus 2009 Camara mengumumkan bahwa pemilihan presiden dan parlemen akan diadakan masing-masing pada bulan Januari dan Maret 2010. Meskipun sebelumnya ada janji bahwa ia dan anggota junta lainnya tidak akan mencalonkan diri dalam pemilu, terdapat rumor bahwa Camara berencana mencalonkan diri sebagai presiden, dan ia tidak menyangkalnya.
Pada tanggal 28 September, puluhan ribu orang berkumpul dalam rapat umum oposisi yang memprotes kemungkinan pencalonan Camara. Tanggapan brutal militer terhadap pertemuan tersebut mengakibatkan kematian sedikitnya 150 orang (walaupun pemerintah mengklaim hanya 57 orang yang tewas) dan lebih dari seribu orang terluka.
Pada hari-hari berikutnya, Camara melarang semua pertemuan oposisi lebih lanjut. Ia juga berusaha menjauhkan diri dari tindakan militer pada rapat umum tersebut dan menyerukan pihak oposisi untuk bergabung dengannya dalam pembentukan pemerintahan persatuan. Pihak oposisi menolak seruan tersebut karena dianggap tidak tulus dan tidak realistis.
Dua minggu setelah unjuk rasa, kelompok oposisi menyerukan pemogokan umum selama dua hari, yang secara efektif mengganggu industri pertambangan bauksit yang penting di negara tersebut serta kehidupan sehari-hari di kota-kota Guinea, di mana banyak bisnis tutup dan sebagian besar orang tinggal di rumah mereka untuk mengikuti pemogokan.
Pada tanggal 15 Oktober, Pengadilan Kriminal Internasional mengumumkan bahwa mereka sedang melakukan penyelidikan awal terhadap tindakan militer pada tanggal 28 September.
Pada tanggal 3 Desember 2009, CNDD mengumumkan bahwa Camara telah menjadi sasaran upaya pembunuhan yang dipimpin oleh Letnan Aboubacar Diakite, mantan ajudan yang secara luas dianggap sebagai tokoh utama dalam reaksi brutal tentara terhadap demonstrasi tanggal 28 September.
Dilaporkan kepalanya tertembak peluru, Camara diterbangkan ke Maroko untuk operasi keesokan harinya. Wakil presiden CNDD dan menteri pertahanan Jenderal Sekouba Konate menjabat sebagai presiden sementara ketika Camara tidak hadir.
Camara meninggalkan Maroko pada 12 Januari 2010 dan terbang ke Burkina Faso. Dia bertemu dengan Presiden Burkina Faso, Blaise Compaoré, yang telah bekerja selama beberapa bulan untuk memediasi kesepakatan antara junta militer Guinea dan oposisi.
Sebuah perjanjian ditandatangani pada tanggal 15 Januari 2010, isinya Camara setuju untuk melanjutkan pemulihannya di luar Guinea, memungkinkan Konate untuk tetap menjadi kepala sementara junta. Konate akan bekerja sama dengan perdana menteri baru, yang dipilih oleh oposisi, yang akan memimpin pemerintahan transisi baru yang akan menyelenggarakan pemilu nasional dalam waktu enam bulan.
Jean-Marie Doré menjabat sebagai perdana menteri sementara pada tanggal 26 Januari 2010, dan membentuk pemerintahan transisi pada bulan berikutnya.
Hasil pemilu pada akhirnya menetapkan pemimpin oposisi veteran Alpha Condé dari Rassemblement du Peuple Guinéen (RPG) mendang dalam pemilihan presiden Guine. Mahkamah Agung mengkonfirmasi hasil tersebut dan Condé resmi menjadi presiden pada 21 Desember 2010.