Nationalgeographic.co.id—Kebijakan Merdeka Belajar menitikberatkan transformasi pendidikan untuk menumbuhkan karakter dan kompetensi peserta didik menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Salah satu fokus utama adalah peningkatan literasi dan numerasi, mengingat skor literasi Indonesia masih tergolong rendah.
Penurunan skor literasi sebesar 12 poin dalam Survei PISA 2022 dan 38,47% peserta didik SD belum mencapai kompetensi minimum literasi di Asesmen Nasional 2022 menjadi perhatian serius.
Kurangnya akses terhadap buku bacaan berkualitas dan fasilitas perpustakaan, terutama di daerah terpencil, menjadi salah satu faktor rendahnya minat baca.
Oleh karena itu, Badan Bahasa, sebagai unit utama Kemendikbudristek, berperan aktif meningkatkan budaya literasi masyarakat Indonesia, khususnya anak usia sekolah.
Upaya Badan Bahasa dalam meningkatkan literasi antara lain dengan menyusun bahan penguatan literasi, baik dalam bentuk buku cetak maupun digital.
Sejak 2016, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah menghasilkan lebih dari 800 judul buku untuk jenjang PAUD, SD, SMP, dan SMA.
Buku-buku tersebut didigitalkan dan diunggah di laman http://budi.kemdikbud.go.id untuk akses bebas masyarakat. Beberapa buku audio pun tersedia untuk anak berkebutuhan khusus.
Sesuai dengan arahan Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim, dan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Prof. E. Aminudin Azis, pada tahun 2022 Badan Bahasa telah mencetak dan mengirimkan buku pengayaan pendukung literasi sebanyak 15.237.226 eksemplar untuk SD dan 119.260 eksemplar untuk PAUD di daerah 3T.
Hal ini dilakukan karena kebiasaan membaca memang harus dimulai sejak usia dini.
Adapun alasan mengapa sasarannya adalah SD dan PAUD di daerah 3T adalah karena Kemendikbudristek ingin mendukung amanat Nawacita yang telah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, yaitu menekankan pentingnya membangun Indonesia dari daerah pinggiran dengan menguatkan sisi sosial, ekonomi, dan sumber daya manusia (SDM).
Selain itu, di daerah 3T anak-anak sulit mendapatkan jaringan internet, sehingga mereka tidak dapat mengakses buku-buku pengayaan literasi yang versi digital.