Nationalgeographic.co.id—Kehancuran pria di tangan wanita karena kecantikan, seksualitas, dan daya pikat yang tak terelakkan adalah konsep yang sudah mapan jauh sebelum pergantian abad ke-19.
Sosok femme fatale, dengan pesonanya yang mematikan, telah menghantui imajinasi selama berabad-abad.
Namun, di era Victoria yang penuh dengan ideologi konservatif dan moralitas yang ketat, citra perempuan mengerikan ini menemukan tempat baru dalam imajinasi kreatif masyarakat.
Para seniman era tersebut, seperti Gustave Moreau, Paul Gauguin, Gustav Klimt, Franz von Stuck, dan Jan Toorop, terpesona oleh kontras antara moralitas yang ketat dan daya tarik erotis yang memikat.
Mereka menciptakan karya-karya yang menggabungkan ketakutan dan ketertarikan, menggambarkan femme fatale dengan visual yang penuh gairah dan simbolisme.
Femme Fatale pada Abad ke-19
Pada tanggal 23 Juli 1877, banyak orang berkumpul di ruang sidang Paris untuk menyaksikan persidangan Jeanne Bricourt. Dia dituduh memanipulasi seorang pekerja untuk melemparkan cairan asam ke wajah kekasihnya.
Kejahatan ini–dan beberapa lainnya–mengilhami seniman kelahiran Swiss, Eugene Grasset, dalam karyanya yang berjudul La vitrioleuse (Pelempar Asam) (1894).
Dengan tangan menopang mangkuk, wanita dalam lukisan ini menoleh ke arah pemirsa, wajahnya yang pucat kehijauan dan matanya yang hiruk-pikuk mungkin mengindikasikan kondisi emosinya.
Sering muncul dalam seni visual dan sastra pada akhir abad ke-19, femme fatale ditampilkan sebagai sosok yang tidak berperasaan, penuh tipu daya, dan kejam. Mereka sering kali menggunakan kekuatan rayuannya sebagai sarana untuk menghancurkan musuh-musuhnya.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Misteri Lenyapnya 5000 Pasukan Legiun Kesembilan Romawi
Periode sejarah di barat ini juga ditandai dengan pergolakan sosial yang signifikan, termasuk kemajuan hak-hak dan kebebasan wanita, seperti hak untuk memilih.
“Tentu saja tidak semua orang di masyarakat senang dengan perubahan ini, karena beberapa orang khawatir dengan apa yang mereka anggap sebagai erosi nilai-etika dan gaya hidup tradisional,” kata Catherine Dent, dalam tulisannya di laman The Collector.
Sementara para istri diharapkan untuk patuh dan tunduk pada suami mereka, banyak seniman dan penulis pada akhir abad ke-19 (fin-de-siècle) menggambarkan wanita sebagai sosok yang kuat dan berbahaya.
Menurut Alison W. Chang, seorang kurator dan cendekiawan independen, hal ini mencerminkan ketakutan masyarakat akan wanita yang semakin otonom.
Meskipun banyak dari karya-karya ini dapat ditafsirkan sebagai misoginis, karya-karya ini adalah produk dari zamannya, yang merupakan respons terhadap tantangan terhadap definisi maskulinitas dan femininitas yang sudah mapan selama abad ke-19.
Sang Femme Fatale sebagai Monster
Lukisan Vampire (1893), karya seniman Norwegia Edvard Munch, pada awalnya dipamerkan sebagai “Love and Pain”.
Namun, seorang penulis dan pengagum karya Munch menamai karya tersebut “Vampire” pada Juni 1894, menciptakan narasi baru di sekitar gambar yang melekat. Judul tersebut mengubah gambar dari sepasang kekasih yang sedang berpelukan mesra menjadi penindas wanita yang membalas dendam secara brutal.
Vampir bukanlah satu-satunya makhluk mitos yang digambarkan sebagai femmes fatales pada periode ini.
Sphinx, dengan kepala seorang wanita, tubuh singa, dan sayap burung, muncul sebagai femme fatale dalam karya Gustave Moreau, Oedipus dan Sphinx (1864).
Baca Juga: Sejarah Dunia: Viking Berserker Konsumsi Zat Psikoaktif Sebelum Perang?
Sosok yang tidak dapat dipahami dan memiliki sifat kebinatangan, sphinx menancapkan cakarnya ke dada Oedipus, kaki belakangnya sangat dekat dengan alat kelaminnya, sehingga meningkatkan ketegangan seksual pada gambar tersebut.”
“Menggambarkan femme fatale sebagai makhluk mengerikan memberikan bentuk nyata pada sifat-sifat yang dianggap aneh oleh para seniman pada seorang wanita: kecenderungan untuk berperilaku mesum, menipu, dan memanipulasi,” kata Alison.
Mengunjungi Kembali Lukisan Femme Fatale
Pada akhir abad ke-19, para seniman mulai mengeksplorasi tema-tema yang gelap dan memikat, terinspirasi oleh karakter femme fatale dari sejarah, Alkitab, dan mitologi.
Sosok-sosok wanita ini, dengan daya tarik seksual yang mematikan, digunakan untuk menggambarkan bahaya dari tunduk pada godaan mereka.
Seniman seperti Gustave Moreau, Paul Gauguin, Gustav Klimt, Franz von Stuck, dan Jan Toorop menciptakan karya-karya yang penuh dengan simbolisme dan kecemasan.
Mereka melihat femme fatale sebagai peringatan, menggambarkan mereka dengan cara yang menakutkan dan memikat sekaligus.
Salah satu contoh yang paling mencolok adalah lukisan "Die Sünde" (Dosa) karya Franz von Stuck sekitar tahun 1908. Dalam karya ini, von Stuck merujuk pada Hawa di Taman Eden. =
Seorang wanita telanjang, dengan tatapan tajam yang menantang, berdiri dengan seekor ular melilit tubuh dan lehernya. Ular tersebut membingkai payudaranya, mempertegas daya tarik seksual yang menyesatkan dan berbahaya.
Salome, femme fatale terkenal dalam Perjanjian Baru, juga menjadi subjek favorit para seniman pada akhir abad ke-19.
Dalam kisahnya, Salome menggunakan tarian erotisnya untuk meyakinkan Raja Herodes agar memenuhi keinginannya. Ia kemudian meminta kepala Yohanes Pembaptis di atas piring sebagai hadiah.
Gustave Moreau, dalam lukisan cat airnya yang berjudul "The Apparition" (1874-76), menggambarkan Salome yang berpakaian minim sedang mengalami visi mengerikan tentang kepala Yohanes Pembaptis yang terpenggal.
Karya-karya ini tidak hanya menjadi cerminan ketakutan dan daya tarik pada zaman itu tetapi juga berfungsi sebagai peringatan. Seperti yang dikatakan oleh Alison, "Kebangkitan wanita-wanita berbahaya ini dalam sastra maupun seni visual menjadi kisah peringatan bagi pria dan wanita pada masa itu."