Popok Sekali Pakai Jadi Ancaman Lingkungan, Bagaimana Mengatasinya?

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 8 Juni 2024 | 08:05 WIB
Popok sekali pakai bisa menjadi ancaman lingkungan. Lalu bagaimana cara kita mengatasinya dan apakah ada alternatif lainnya? (Donny Fernando)

Nationalgeographic.co.id—Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kelahiran bayi di Indonesia mencapai 4,6 juta sepanjang tahun 2023. Setidaknya ada potensi penggunaan popok hingga 17,44 juta per hari dengan potensi limbah popok sebanyak 3.488 ton per hari di negeri ini.

Lies Indriati, periset Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih (PRLTB), menyebut produk sekali pakai, seperti popok dan pembalut, memberikan kenyamanan karena dapat langsung dibuang setelah digunakan. Namun penggunaan produk ini menimbulkan masalah lingkungan yang signifikan.

“Risiko pencemaran lingkungan muncul dari bahan-bahan baku penyusunnya, jumlah atau volume produk yang digunakan, perilaku pengguna dan pengelola," ujarnya dalam EnviroTalk #32 pada bulan lalu dengan tema "Dari Limbah Menjadi Komoditas Bernilai Tambah: Tantangan dan Potensi dalam Pengolahan Sampah Popok dan Pembalut Bekas".

"Fungsi utama popok bayi adalah menyerap cairan yang keluar dari tubuh manusia. Produk ini terbagi menjadi dua kelompok besar, produk yang dapat digunakan kembali dan produk sekali pakai," papar Lies.

Limbah popok yang mengandung kotoran cair atau padat ini, dapat memicu gangguan kesehatan pada mahluk hidup. Contohnya iritasi paru-paru, penyakit kulit, bahkan sesak napas. Tak manusia, tumbuhan air dan ikan juga bisa mengalami gangguan akibat limbah popok sekali pakai tersebut.

Selain itu, Lies menjabarkan bahwa sampah dari popok dan pembalut sekali pakai ini menimbulkan beban lingkungan besar. Sebab, komponen materialnya terdiri dari berbagai lapisan.

Secara umum, limbah popok dan pembalut memiliki lima komponen penyusun yang sama. Lapisan atas terdiri terdiri atas poliester, polietilen (PE), polipropilen (PP), campuran PE/PP, viskosa/rayon, dan kapas.

Lapisan aquisition distribution layer (ADL) terdiri atas poliester, PE, PP, viskosa/rayon, kapas, serat selulosa/pulp. Bagian inti penyerap (core) terdiri atas serat selulosa/pulp, kapas, polimer penyerap super (SAP), poliester.

Lapisan bawah (bottom) terdiri atas PE, PP, dam asam polilaktik. Kemudian perekat dari resin sintetis dan polimer termoplastis serta pelepas yang terdiri atas kertas dan berlapis silikon.

Menurut Lies, dalah kebijakan pengelolaan sampah, belum ada klasifikasi sampah untuk produk popok sekali pakai ini. Jadi sistem pengelolaannya pun belum dilakukan secara serius di Indonesia.

Pada kesempatan yang sama, Febrianti SR, Chief Executive Officer Bank Sampah Bersinar, menyampaikan tantangan dalam pengelolaan sampah popok dan pembalut bekas sekali pakai. "Kami mengajarkan masyarakat untuk memilah sampah organik dan non-organik. Sampah organik bisa diolah menjadi kompos, sementara sampah anorganik bisa masuk ke bank sampah," jelasnya.

Baca Juga: Kisah Fei Febri Beralih dari Perusahaan Multinasional ke Pengelolaan Sampah Lokal

Fei menambahkan bahwa masih banyak sampah residu, seperti popok bayi, yang belum terkelola dengan baik. Meskipun penggunaan popok sekali pakai lebih praktis, ia mendorong penggunaan produk yang dapat digunakan kembali, seperti clodi (cloth diaper) alias popok kain.

"Namun, kami juga memahami bahwa tidak semua ibu memiliki waktu dan tenaga untuk menggunakan popok kain, sehingga kami menyediakan solusi pengolahan sampah popok sekali pakai," ujarnya.

Bank Sampah Bersinar pun melakukan edukasi kepada masyarakat untuk membersihkan popok bekas sebelum disetorkan. "Sampah popok yang disetorkan harus bersih dari kotoran padat, namun urine tidak masalah, karena mengandung urea yang dapat digunakan untuk pupuk cair organik," kata Febrianti.

Popok yang sudah dibersihkan kemudian diproses untuk memisahkan fiber, plastik, dan cairan organiknya. Fiber hasil pengolahan sampah popok disuplai ke PT Konut Indonesia sebagai material alternatif. Plastik yang dihasilkan digunakan untuk membuat produk daur ulang, sementara cairan organik digunakan sebagai pupuk cair.

"Proses pengolahan ini menggunakan mesin yang dirancang untuk memisahkan komponen-komponen tersebut, lalu mengeringkannya dengan sinar matahari untuk menghemat energi," urainya.