Rudapaksa Massal: Taktik Penghancur Moral Musuh dari Kekaisaran Mongol

By Tri Wahyu Prasetyo, Jumat, 14 Juni 2024 | 16:00 WIB
Pasukan Mongol yang kuat dalam perjalanannya menaklukkan beberapa kawasan Asia. (History Collection)

Nationalgeographic.co.id—Ketika membayangkan bangsa Mongol, sering kali kita teringat tentang penaklukan besar dan kekaisaran yang luas di bawah kepemimpinan Genghis Khan yang legendaris.

Strategi dan kemampuan tentara Mongol yang tak diragukan lagi, adalah mimpi buruk bagi musuh-musuh mereka.

Namun, di balik kegemilangan militer mereka, terdapat kisah kelam yang jarang dibahas. Salah satunya adalah kisah tentang kekejaman yang diderita oleh para wanita, baik dari bangsa yang ditaklukkan maupun dari kalangan mereka sendiri.

Dalam artikel ini, kita akan mengungkap lembar gelap kekaisaran Mongol, dengan berfokus pada kekejaman yang dialami oleh wanita, seperti yang diuraikan dalam buku "The Secret History of the Mongol Queens" karya Jack Weatherford.

Kekejaman Terhadap Wanita di Tengah Kekacauan

Di tengah gemuruh penaklukan yang dilakukan oleh bangsa Mongol, kekejaman yang menimpa para wanita sering kali menjadi senjata perang yang mengerikan.

Pada tahun 1237, Ogodei Khan, putra Genghis Khan, memerintahkan tindakan yang tidak hanya brutal secara fisik tetapi juga menghancurkan secara psikologis. Dia memerintahkan pemerkosaan massal terhadap gadis-gadis Oirat sebagai bentuk balas dendam dan pengendalian.

Ogedei Khan, khan agung kedua, berhasil memperluas wilayah Kekaisaran Mongol. Kematiannya mengubah segalanya, termasuk invasi ke Eropa. (National Palace Museum in Taipei)

"Prajuritnya mengumpulkan empat ribu gadis Oirat di atas usia tujuh tahun bersama dengan kerabat laki-laki mereka di sebuah lapangan terbuka. Para prajurit memisahkan gadis-gadis dari keluarga bangsawan dan menarik mereka ke depan kerumunan. Mereka menelanjangi gadis-gadis bangsawan itu, dan satu per satu prajurit maju untuk memperkosa mereka," ungkap Jack.

Dengan menghancurkan moral musuh dan mempermalukan mereka, Ogodei memperkuat cengkeramannya atas wilayah yang baru ditaklukkan.

"Ini bukan sekadar sarana untuk memuaskan nafsu para prajurit. Ini adalah metode sistematis untuk dominasi dan perang psikologis yang dirancang untuk meneror dan menaklukkan," imbuh Jack.

Baca Juga: Badai Panah, Strategi Perang Genghis Khan yang Hampir Mustahil Digagalkan

Tidak hanya itu, tindakan kekejaman serupa juga dilakukan oleh Jochi dan Chaghatai, putra-putra Genghis Khan, pada tahun 1221 setelah penaklukan kota Urgench.

Mereka memerintahkan wanita-wanita yang tidak dipilih untuk dijadikan selir lalu bertarung satu sama lain hingga mati, sebagai hiburan sadis bagi tentara mereka.

"Mereka membagi wanita-wanita itu menjadi dua kelompok dan memerintahkan mereka untuk menelanjangi diri... 'Wanita-wanita di kota kalian adalah petinju yang baik. Oleh karena itu, perintahnya adalah bahwa kedua pihak harus saling bertarung dengan tinju,'" kata Jack, menggambarkan momen bengis itu.

Reaksi masyarakat terhadap kekejaman ini bervariasi. Di kalangan bangsa yang ditaklukkan, terdapat ketakutan dan kepasrahan akibat kekuatan militer Mongol yang tak tertandingi. Namun, di dalam kekaisaran sendiri, kekejaman ini juga memicu perlawanan dan ketegangan.

Beberapa wanita Mongol, yang menyaksikan atau mengalami langsung kekejaman ini, bangkit melawan meskipun ada risiko besar terhadap hidup mereka.

Perlawanan ini sering kali tersembunyi dan tidak terdokumentasi dengan baik karena dominasi patriarki yang kuat.

Sementara dunia melihat wanita-wanita Mongol sebagai korban yang diam, di dalam kekaisaran, mereka sering kali adalah penentang yang gigih dan penuh tekad. Perlawanan mereka, meskipun sering kali tidak tercatat, tidak kalah berdampak.

Perlawanan Para Wanita

Salah satu figur yang paling terkenal adalah Khutulun, seorang putri dari keturunan Genghis Khan yang dikenal karena keberaniannya dan keterampilannya di medan perang. Khutulun sering kali bertempur bersama ayahnya, dan menolak untuk tunduk pada pernikahan paksa yang lazim pada masa itu.

Khutulun bersumpah tidak akan pernah menikah sampai dia menemukan seorang pria yang dapat mengalahkannya dalam pertarungan. (Public Domain/Wikimedia Commons)

Tidak hanya Khutulun, banyak wanita lain yang menggunakan strategi aliansi dan diplomasi untuk melawan kekejaman. Orghina Khatun, yang digambarkan sebagai "seorang putri yang cantik, bijaksana, dan cerdas," berulang kali mengubah aliansi dan agama sesuai kebutuhan untuk menjaga kekuasaan dan stabilitas keluarganya.

Para wanita ini juga memanfaatkan posisi mereka dalam struktur kekuasaan untuk memengaruhi keputusan politik dan militer.

"Melalui penggunaan aliansi pernikahan yang cerdik, wanita-wanita ini tidak hanya mengamankan posisi mereka tetapi juga bekerja untuk memastikan stabilitas dan kelangsungan kekuasaan keluarga mereka,” kata Jack.

Dengan kecerdikan dan keteguhan hati, mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas dan keberlanjutan kekaisaran Mongol.

Perlawanan para wanita ini tidak hanya terfokus pada medan perang. Banyak dari mereka yang berjuang melalui cara-cara diplomatik dan sosial.

Mereka memanfaatkan posisi mereka dalam struktur kekuasaan untuk mempengaruhi keputusan politik dan militer. Para wanita ini juga berperan penting dalam menjaga stabilitas ekonomi dan sosial di wilayah mereka, memastikan bahwa meskipun ada kekacauan politik, masyarakat tetap dapat berfungsi dan berkembang.