Menjaga Keasrian Teluk Cenderawasih Demi Hiu Paus, Sang Gurano Babintang

By National Geographic Indonesia, Kamis, 27 Juni 2024 | 12:00 WIB
Penyelam berenang bersama hiu paus di Teluk Cenderawasih. Balai Besar Taman Nasional Cenderawasih dan PT. Pertamina International Shipping (PIS) memasang perangkat GPS yang lebih aman pada hiu paus. (Pertamina Diving Club (PDC))

Nationalgeographic.co.id–Teluk Cenderawasih adalah rumah bagi hiu paus (Rhincodon typus) di sekitar Papua. Ekosistem perairannya sangat asri, ada banyak jenis ikan kecil dan biota mikroskopis lainnya.

Ketika mendapati tempat yang kaya akan sumber makanannya, hiu paus langsung membuka lebar-lebar mulutnya sehingga air yang berisi ikan kecil dan plankton terisap ke dalam.

Keasrian inlah yang mungkin mendorong populasi Teluk Cenderawasih bertambah, dalam pemantauan yang dilakukan PT. Pertamina Internasional Shipping (PIS) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Populasi awal hiu paus berjumlah 195 ekor. Sejak dipantau per Mei 2024, jumlahnya menjadi 203 ekor.

Meski merupakan jenis hiu, hiu paus tidak memangsa manusia. Keramahan mereka terhadap kita, membuatnya bersahabat untuk didekati. Pihak Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih pun mengizinkan kegiatan ekowisata di sini.

Oleh masyarakat di sekitar Teluk Cenderawasih, hiu paus disebut gurano babintang atau gurano bintang. Secara harfiah, gurano adalah makhluk yang biasanya merujuk pada ikan hiu, dan babintang merujuk pada kulit totol putihnya serupa bintang di langit malam.

"Masyarakat di sini itu tidak macam-macam sama hiu paus," kata Frans Kusi Sineri, Kepala Bagian III Balai Taman Nasional Teluk Cenderawasih (BBTNC). "Kalau bertemu dia [hiu paus], orang lebih memilih menghindar. Kalau diburu, nanti [diyakini] bisa bawa sial."

Selain itu, keberadaan hiu paus terjamin di wilayah Teluk Cenderawasih. Masyarakat lebih memilih untuk membiarkan hiu paus, alih-alih ditangkap.

"Kebanyakan mereka cari ikan itu untuk makan di rumah, bukan dijual. Cari ikan hanya pakai tali pancing, tidak sampai pakai perahu jauh-jauh," kata Markus Apaseray, Polisi Hutan TNTC. "Di [kampung sebelah,] Kwatisore, paling hanya tiga atau empat keluarga saja yang melaut."

Kebanyakan aktivitas nelayan justru dari pendatang dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Meski demikian, karena hiu paus ditetapkan sebagai hewan yang dilindungi berdasarkan KEPMEN-KP No. 18 tahun 2013, nelayan pun tetap menjaga keberadaan hiu paus.

Para nelayan ini kebanyakan tinggal di bagan, pangkalan penangkapan ikan di tengah laut. Di bagan ini, nelayan biasanya menjaring ikan-ikan kecil dengan jaring yang bisa terangkat ke permukaan bagan. Tidak jarang hiu paus muncul untuk ikut ambil makan.

Sebagai solusi penengah antara kebutuhan nelayan dan konservasi, kegiatan ekowisata biasa dilakukan di bagan. Para pengunjung akan dikenakan biaya untuk masuk ke bagan sebagai penghasilan tambahan nelayan, yang sekaligus mendorong semangat untuk melestarikan keberadaan hiu paus.

Baca Juga: Memantau Migrasi Hiu Paus di Teluk Cenderawasih Tanpa Menyakitinya