Gagasan ini mengakar dalam kehidupan mereka sehari-hari. Masyarakat Suku Baduy tidak pernah membeda-bedakan seseorang yang memasuki wilayahnya berdasarkan agama. Asalkan menghormati adat istiadat orang Baduy, maka mereka pun akan dihormati sama seperti tamu-tamu lainnya.
"Larangan bagi masyarakat asal Eropa, Belanda, Tionghoa dan non-Muslim lainnya untuk memasuki kawasan Baduy Tangtu disebabkan adanya kesepakatan antara pemerintah kolonial Belanda dan masyarakat Baduy. Dalam praktiknya, pelarangan tersebut bukan karena alasan agama, karena sebagian umat Kristiani juga boleh memasuki wilayah Baduy," papar Abdurrahman lagi.
Merry, seorang wanita beragama Kristen melakukan penelitian di Kampung Cibeo, sebuah wilayah di Baduy Dalam. Para jaro, puun, dan para tetua adat lainnya di sana mengetahui kehadirannya, tetapi mereka tidak mempertanyakannya.
Hasil wawancara yang dilakukan dengan Jaro Alim juga menunjukkan bahwa mereka sangat menghormati agama lain, terbukti dengan banyaknya tamu yang berkunjung ke Baduy Dalam dan ke para puun di Cikeusik, Cibeo atau Cikertawana untuk tujuan berbeda. Pada umumnya masyarakat yang datang berkunjung ke puun adalah mereka yang ingin mendapatkan keberkahan, kesejahteraan dan terhindar dari mara bahaya di dunia.
Mereka yang datang tidak hanya dari masyarakat Baduy saja, tetapi juga beragama Islam, Kristen, dan pemeluk agama lain. Menariknya, masyarakat tersebut kebanyakan berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang, bahkan dari luar Pulau Jawa seperti Sumatra dan Kalimantan.