Sujen: Selisik Teknologi Tradisional Masjid Kuno Berusia Enam Abad!

By Galih Pranata, Senin, 9 September 2024 | 10:00 WIB
Potret sujen pada Masjid Al Makmur di Dukuh Majasem, Desa Pakahan, Kecamatan Jogonalan. Sujen telah berfungsi sebagai pasak kayu yang mengukuhkan masjid kuno berusia enam abad ini. (Galih Pranata)

Nationalgeographic.co.id—Dalam rentang sejarah, bangunan Jawa telah berhasil melintangi zaman. Fondasinya yang kokoh, pantang rusak diranggas waktu. Zaman telah beralih, kekunaannya terjaga rapi.

Pada saat kunjungan penulis ke kawasan Jogonalan, saya menjumpa sebuah masjid kuna. Bahkan disebut-sebut bangunannya berusia enam abad! Masjid Al Makmur di Majasem, Jogonalan, Klaten. Warga sekitar menyebutnya Masjid Majasem.

Kekunaannya dibuktikan lewat sebuah prasasti yang bertuliskan bahwa masjid tersebut berangka tahun 1385 M. Penulis dibantu oleh Ataka Nasrudin, pelajar dari SMA Negeri 1 Klaten dalam pengambilan data sekaligus sebagai alih bahasa.

Dalam peliputan, kuncen masjid bernama Poniman menjelaskan dalam Jawa, jika Masjid Majasem di Jogonalan ini telah diperkirakan dibangun sejak era Walisanga menyebarkan Islam di kawasan Klaten. 

Sejarah lisan menyebut bahwa sebelumnya, masjid ini merupakan sebuah langgar kecil yang disebut-sebut langgar Kalimasada. Barulah pada prasasti lainnya, disebutkan jika fungsi langgar ini direvitalisasi pada 1780.

Suasana interior masjid kuno yang bertahan selama enam abad. Sujen telah memperkokoh penyambung antar kayu pada Masjid Al Makmur Majasem ini. (Galih Pranata)

Proses revitalisasi masjid ini dimulai tatkala pihak kraton Kasunanan Hadiningrat menitahkan utusannya, Pangeran Ngurawan untuk membuat tempat persinggahannya itu menjadi tanah perdikan dan memperkokoh fondasinya.

Menurut Yosep Riva Argadia dalam bukunya Profil budaya dan bahasa Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah terbitan tahun 2020, mengungkap bahwa cerita tentang tanah perdikan yang diperoleh Pangeran Ngurawan bermula ketika Sultan Pajang Hadiwidjojo upaya mendamaikan kedua putranya.

Kedua putranya kala itu berseteru memperebutkan kekuasaan. Perseteruan yang berlarut membuat Sultan Hadiwidjojo menyelenggarakan sayembara,

"Siapa saja yang dapat mendamaikan kedua putranya maka akan diberi tanah perdikan." Akhirnya, Pangeran Ngurawan hadir sebagai tokoh yang dapat mendamaikan keduanya.

Baca Juga: Telisik Histori Masjid Demak Warisan Dakwah Walisanga di Jawa

Hal yang menarik perhatian kami, sebuah paku tradisional-lah yang menjadi pasaknya. Bukan paku kayu atau paku beton, masjid yang berusia enam abad ini disangga dan dikukuhkan hanya dengan pasak kayu! "Kami menyebutnya sujen," tutur Poniman dalam Jawa.