Beberapa warga First Nations melakukan perlawanan. Diperkirakan ada 20.000 orang tewas dalam konflik kekerasan di perbatasan koloni. Meski melawan, sebagian besar warga negara tersebut ditaklukkan. Terjadi pembantaian dan pemiskinan komunitas mereka ketika pemukim Inggris merampas tanah mereka.
Para peneliti telah mendokumentasikan setidaknya 270 pembantaian warga Aborigin Australia selama 140 tahun. Istilah “genosida” masih kontroversial. Tapi orang-orang yang terkait dengan penduduk pertama di benua ini secara luas dianggap telah dimusnahkan melalui kekerasan.
Generasi yang Terampas (Stolen Generation)
Antara 1910-1970, kebijakan asimilasi pemerintah menyebabkan antara 10 dan 33 persen anak-anak Aborigin Australia diusir secara paksa dari tempat tinggalnya. “Generasi yang Terampas” ini dimasukkan ke dalam keluarga dan lembaga angkat. Mereka dilarang berbicara dalam bahasa ibu mereka. “Nama mereka pun kerap diubah,” Blakemore menambahkan lagi.
Kebanyakan penduduk First Nations tidak memiliki kewarganegaraan penuh atau hak memilih hingga tahun 1965. Baru pada tahun 1967 warga Australia memutuskan bahwa undang-undang federal juga akan berlaku bagi warga Aborigin Australia. Hal ini berarti bahwa penduduk Aborigin Australia dan Penduduk Kepulauan Selat Torres akan dihitung sebagai bagian dari populasi Australia. Dan Australia dapat membuat undang-undang yang wajib mereka patuhi.
Pada tahun 2008, Perdana Menteri Australia Kevin Rudd mengeluarkan permintaan maaf nasional atas tindakan negaranya terhadap Generasi yang Terampas. Sejak itu, Australia berupaya mengurangi kesenjangan sosial yang dihadapi warga Aborigin Australia.
Perjuangan terus berlanjut
Saat ini, warga Aborigin Australia masih berjuang untuk mempertahankan budaya kuno mereka. Mereka juga berjuang untuk mendapatkan pengakuan—dan ganti rugi—dari pemerintah Australia.
Pada tahun 2023, sebagian besar warga Australia menolak referendum nasional yang akan mengakui masyarakat Aborigin dalam konstitusinya.
Kegagalan referendum ini dipandang sebagai sebuah pukulan bagi banyak warga Aborigin Australia. Orang Aborigin pun menetapkan satu minggu keheningan dan refleksi setelah referendum tersebut.
Namun kemajuan masih berlangsung di bidang lain. Meskipun Australia belum pernah membuat perjanjian dengan penduduk First Nations, beberapa negara bagian Australia mengambil tindakan sendiri.
Negara bagian Victoria menetapkan kerangka kerja untuk perundingan perjanjian. Hal ini diharapkan menjadi perantara perjanjian pertama yang akan mengakui kedaulatan Aborigin Australia. Juga memberi kompensasi kepada para korban ketidakadilan historis. Upaya tersebut, kata sejarawan dan penulis Aborigin Jackie Huggins, adalah upaya untuk memperbaiki tatanan masyarakat.
Namun, dibutuhkan lebih dari sekadar perjanjian untuk menyembuhkan luka mendalam warisan kolonial Australia. Sementara itu, warga Aborigin Australia mengatakan bahwa diakui atau tidak, mereka memiliki kedaulatan yang tidak pernah diserahkan atau dihapuskan.