Kenapa Atlet Olimpiade dalam Peradaban Yunani Kuno Bertelanjang Bulat?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 27 Juli 2024 | 10:00 WIB
Para atlet olimpiade Yunani kuno berlomba dengan bertelanjang bulat. Bagaimana sejarah kebiasaan mereka berlomba tanpa pakaian ini bermula? (Edward Norman Gardiner/Flickr)

Nationalgeographic.co.id—Setiap dua tahun sekali, olimpiade diselenggarakan bergiliran antara musim panas dan musim dingin. Perihal berpakaian selalu menjadi topik pembahasan, mulai dari gaya berpakaian atlet yang terlalu seksi—biasanya pada cabang olahraga berenang dan gimnastik—kontroversi penggunaan hijab, sampai beradu kostum pembukaan dan penutupan ajang.

Kondisi ini berbeda dengan masa lalu, ketika peradaban Yunani kuno memperkenalkan olimpiade dan ragam cabang olahraga yang ada. Meski dikenal sebagai era klasik, di mana pakaian terlihat tampak sederhana dalam kehidupan peradabannya, para atlet justru berlomba dengan bertelanjang bulat.

Awalnya, peradaban Yunani kuno ketika mengadakan olimpiade tidak benar-benar bertelanjang. Dalam epos Illiad karya Homeros, disebutkan bahwa para atlet yang berkompetisi hanya mengenakan cawat. Olimpiade pertama itu diperkirakan diselenggarakan pada 776 SM, ketika dunia fiksi penuh dengan kisah dewa dan kenyataan masih dikisahkan berkaitan.

Sejarah atlet telanjang olimpiade Yunani kuno

Para ahli sejarah tidak bisa memastikan bagaimana awal mula atlet bertelanjang di olimpiade kuno. Ada kisah yang menyebutkan bahwa pada 720 SM, Orsippus yang dijuluki sebagai "orang Yunani pertama yang dinobatkan sebagai pemenang telanjang" dari Megara, sebagai pelopornya. Pelari ini memenangkan lomba lari berjarak satu stade (setara dengan 185 meter).

Ada banyak kontroversi sejarah yang membahas siapa yang lebih dulu berkompetisi dengan bertelanjang bulat dalam olimpiade di Yunani kuno. Selain Orsippus, sejarah mencatut Akanthos dari Sparta yang menjadi atlet pertama yang bertelanjang bulat dalam olimpiade 720 SM pada cabang olahraga diaulos (lari sejauh sekitar 400 meter) dan dolikhos (lari sejauh 4.800 meter).

Bukti lain yang dicatat sejarawan Yunani kuno Thukidides (460 SM–395 SM), menyebutkan bahwa orang-orang Sparta yang lebih dulu. Namun dia tidak menyebut nama Akanthos, sehingga kebiasaan bertelanjang ini diperkirakan memang dilakukan oleh masyarakat Sparta dalam perhelatan olimpiade Yunani kuno.

Patung perunggu seorang gadis berlari dari Haerean Games, Olimpiade khusus wanita di sejarah Yunani kuno. (Wikimedia Commons)

Lebih lanjut, Thukidides menyebut bahwa tren para atlet berlomba dengan telanjang terjadi dengan peralihan sedikit demi sedikit. Lambat laun, banyak atlet dalam perhelatan olimpiade bertelanjang, baik oleh orang Sparta maupun negara-kota lainnya di Yunani kuno.

Pendapat lain memperkirakan ketelanjangan memang sudah mengakar dalam kebudayaan Yunani kuno. Para sejarawan kuno telah melacak kebiasaan bertelanjang adalah cara bagi pria berusia muda dalam menunjukkan kedewasaan.

Bagaimanapun, ketika atlet laki-laki berlomba dengan telanjang, wanita yang sudah menikah tidak diperkenankan menonton. Hanya wanita muda dan perawan yang diperbolehkan menonton dari tribun. Para ayah akan membawa putri mereka dengan harapan dapat menjodohkannya dengan sang juara.

Baca Juga: Olympia, Tempat Berlangsungnya Olimpiade dalam Sejarah Dunia Kuno

Atlet wanita Yunani kuno pun "bertelanjang"

Disebutkan bahwa dalam kegiatan olahraga orang Sparta, kalangan wanita pun juga bertelanjang. Akan tetapi, jika menggunakan konteks ketelanjangan hari ini, para atlet wanita muda juga berlari dengan tunik pendek dengan payudara kanan mereka terbuka dalam cabang olahraga yang diselenggarakan untuk wanita.

Olahraga yang dilakukan untuk atlet wanita ini didedikasikan untuk Hera, dewi yang menjadi permaisuri dewa Zeus. Cara pakaian mereka yang semi telanjang ini adalah bentuk penghormatan kepada wanita prajurit Amazon, ras terkuat wanita yang telah membakar payudara kanan mereka agar tidak menghalangi cara melempar lembing.

Cabang olahraga khusus pamer tubuh telanjang

Olimpiade yang diselenggarakan peradaban Yunani kuno juga punya cabang-cabang olahraga yang menampilkan keindahan tubuh pria yang bertelanjang. Cabang olahraga tersebut dikategorikan sebagai gimnastik yang berasal dari kata "gymnasium" dalam bahasa Yunani yang bermakna unsur ketelanjangan.

Fasilitas pelatihan dan lembaga gimnasium banyak didirikan di pelbagai negara-kota Yunani kuno, terutama pada abad ke-6 SM. Keberadaannya di kalangan masyarakat sangat terkait dengan pendidikan dan kebugaran baik jiwa maupun raga. Lembaga ini juga menjadi sarana melatih kesenian dalam peradaban Yunani kuno seperti pahat, keramik, dan lainnya.

Berakhirnya kejayaan olimpiade telanjang

Peradaban lainnya, seperti Mesir kuno dan Persia kuno memandang kebiasaan bertelanjang Yunani kuno sebagai degenerasi moral. Banyak catatan dari Mesir dan Persia yang mencatut pengalaman kebiasaan orang Yunani yang suka saling meminyaki dan menggeliat di lumpur sebagai kegiatan aneh.

Seiring rezim politik berubah, Yunani kuno masuk di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi. Olimpiade Yunani kuno dicatat sebagai "pertandingan olahraga yang paling terkenal" oleh sejarawan Romawi Marcus Velleius Paterculus (20/19 SM–31 M).

Ahli sejarah memperkirakan olimpiade Yunani kuno kemungkinan berakhir di bawah pemerintahan Kaisar Theodosius II dari Konstantinopel. Kaisar ini diketahui menyerap nilai-nilai agama Kristen dalam peraturan kekaisarannya.

Diperkirakan, berakhirnya olimpiade Yunani kuno karena berhubungan dengan kebiasaan agama pagan Yunani yang tidak sesuai dengan yang berlaku di Bizantium. Apa lagi, ketelanjangan yang berhubungan dengan kompetisi olahraga selalu dipandang sebagai tindakan tercela.