"Untuk pertama kalinya perilaku agresif seperti itu diamati pada archaea. Dalam banyak hal, aktivitasnya mirip dengan beberapa virus. Hal ini mendorong kami untuk mengevaluasi kembali peran ekologis mereka di lingkungan Antarktika," kata Dr. Hamm.
Sangat sedikit archaea DPANN yang telah dibudidayakan di laboratorium. Dr. Liao dan rekan-rekannya berusahan mengembangkan teknik baru, termasuk pewarnaan sampel yang unik, mikroskopi fluoresensi langsung, dan mikroskopi electron. Hal itu untuk memvisualisasikan bagian internal sel inang dan melacak interaksi antara archaea DPANN dan inangnya.
Dr. Liao mewarnai inangnya, archaeon yang bernama Halorubrum lacusprofundi, dan archaeon DPANN parasit Candidatus Nanohaloarchaeum antarcticus, dengan pewarna non-sitotoksik yang bersinar dengan warna berbeda saat terkena cahaya laser.
"Dengan cara ini memungkinkan kami untuk mengamati organisme bersama-sama selama periode yang panjang dan mengidentifikasi sel berdasarkan warna. Kami melihat parasit DPANN menempel, dan kemudian tampak bergerak ke dalam sel inang, yang menyebabkan lisis atau pecahnya sel inang," kata Dr. Liao.
“Kondisi ini memungkinkan mikroba lain untuk tumbuh dan mencegah organisme inang menimbun nutrisi. Archaea DPANN yang kami selidiki tampaknya memainkan peran yang jauh lebih penting dalam ekosistem daripada yang disadari. Gaya hidup parasit atau infeksi dari archaea ini mungkin umum terjadi," simpulnya.
Dr. Liao mengatakan penelitiannya di masa mendatang bertujuan untuk mengeksplorasi archaea untuk aplikasi biomedis dan bioteknologi.
Meskipun tidak ada archaea yang ditemukan menyebabkan penyakit, mereka tetap dapat memengaruhi kesejahteraan. Archaea juga bertanggung jawab atas emisi metana ternak, jadi pengetahuan yang lebih besar tentang gaya hidup archaea dapat berguna untuk memerangi perubahan iklim.