Sejarah Dunia yang Terlupakan: Ketika Puisi Berlaga di Olimpiade

By Tri Wahyu Prasetyo, Minggu, 11 Agustus 2024 | 21:02 WIB
Para anggota Komite Olimpiade Internasional pertama berpose untuk sebuah foto pada tahun 1896. (Via Smithsonian Magazine)

Nationalgeographic.co.id—Pernahkah Anda membayangkan puisi dan olahraga bertemu dalam satu panggung yang megah? Bagaimana jika ternyata puisi pernah menjadi bagian dari Olimpiade modern?

Menjadi bagian dalam sejarah dunia yang mungkin terlupakan, puisi tidak hanya menjadi seni yang dinikmati di atas kertas, tetapi juga bersaing untuk meraih medali di arena Olimpiade.

Artikel ini akan membawa Anda menelusuri jejak sejarah yang menarik ini, dari akar budaya Yunani kuno hingga periode ketika puisi menjadi bagian dari kompetisi Olimpiade, serta alasan di balik hilangnya lomba puisi dari panggung tersebut.

Kembali ke Masa Lalu: Puisi dan Atletik di Yunani Kuno

Di Yunani kuno, puisi memiliki tempat yang sangat penting dalam budaya masyarakat. Puisi bukan hanya sekadar kata-kata indah; ia adalah bagian integral dari perayaan, ritual, dan kompetisi.

Kontes atletik dan seni seringkali diselenggarakan bersamaan, menciptakan suasana di mana kekuatan fisik dan keindahan kata-kata saling melengkapi.

"Pada Olimpiade kuno di Yunani, para atlet bukanlah satu-satunya bintang pertunjukan. Tontonan ini juga menarik perhatian para penyair, yang membacakan karya-karya mereka di hadapan para penonton yang bersemangat," kata Ellen Wexler.

Dia menulis dalam artikel sejarahnya bertajuk "Poetry Was an Official Olympic Event for Nearly 40 Years. What Happened?"

Pierre de Coubertin, pendiri Olimpiade modern, terinspirasi oleh tradisi ini. Ia percaya bahwa “otot dan pikiran” harus bersatu kembali, dan bahwa “kemanusiaan telah kehilangan semua rasa eurythmy,” sebuah istilah yang menggambarkan harmoni antara seni dan atletik.

Visi Coubertin untuk Olimpiade modern adalah untuk mengembalikan hubungan yang telah lama terputus antara olahraga dan seni. Ia ingin menciptakan sebuah kompetisi yang tidak hanya menguji kekuatan fisik, tetapi juga merayakan keindahan dan kreativitas.

Dengan demikian, tradisi Yunani kuno menjadi landasan bagi ide-ide yang akan membentuk Olimpiade di masa depan.

Baca Juga: Angkat Besi: Dari Palestina Hingga Jadi Cabang Olahraga Olimpiade

Panggung Olimpiade untuk Puisi: Periode 1912-1948

Pada tahun 1912, visi Coubertin mulai terwujud ketika lomba puisi diperkenalkan dalam Olimpiade. Lima kategori seni, termasuk puisi, ditambahkan sebagai bagian dari Pentathlon of the Muses.

Lomba puisi ini memiliki format dan aturan yang ketat, di mana semua karya harus terinspirasi oleh tema olahraga. Kriteria penilaian pun ditetapkan untuk memastikan bahwa puisi yang dihasilkan tidak hanya indah, tetapi juga relevan dengan semangat Olimpiade.

Beberapa penyair ternama berpartisipasi dalam lomba ini, termasuk Coubertin sendiri yang menulis “Ode to Sport” menggunakan nama samaran. Karya ini dinyatakan sebagai pemenang dan menjadi “karya tertulis pertama dalam sejarah modern yang memenangkan medali emas”.

Namun, meskipun ada beberapa keberhasilan, lomba puisi ini tidak lepas dari kontroversi. Banyak yang mengkritik subyektivitas penilaian dan relevansi puisi dalam konteks kompetisi olahraga.

Pierre de Coubertin berdiri bersama Edward, Pangeran Wales, dan Justinien de Clary, presiden Komite Olimpiade Prancis, saat Olimpiade Paris tahun 1924. (Via Smithsonian Magazine)

Perdebatan ini menciptakan ketegangan antara dunia sastra dan olahraga, dan meskipun ada upaya untuk mengintegrasikan keduanya, tantangan tetap ada.

Pudarnya Cahaya: Mengapa Lomba Puisi Dihentikan

Seiring berjalannya waktu, lomba puisi mulai kehilangan daya tariknya. Setelah tahun 1948, lomba puisi secara resmi dihentikan.

Beberapa faktor berkontribusi pada keputusan ini. Pertama, kurangnya minat publik terhadap lomba puisi menjadi salah satu alasan. Misalnya, pada tahun 1912, hanya ada sekitar tiga puluh peserta untuk semua kategori seni, dan lomba puisi memiliki kurang dari sepuluh entri.

Masyarakat semakin fokus pada kompetisi olahraga murni, dan puisi dianggap tidak relevan dalam konteks tersebut. Selain itu, kesulitan dalam penilaian puisi juga menjadi tantangan tersendiri. Penilaian yang subyektif membuat banyak orang meragukan keadilan dan objektivitas dalam kompetisi ini.

" ... setelah Olimpiade London 1948, pejabat memutuskan untuk menghapus kategori seni," jelas Wexler. Alasan yang diberikan adalah karena "idealisme Corinthian tentang amatirisme murni yang dijanjikan oleh gerakan Olimpiade," dan bahwa definisi antara seniman profesional dan amatir sulit ditentukan. Selain itu, kualitas pengiriman karya seni juga dianggap sudah menurun."

Istilah "Corinthian" berasal dari tradisi olahraga di Yunani Kuno, di mana atlet berkompetisi tanpa imbalan finansial dan berpartisipasi semata-mata untuk cinta terhadap olahraga dan semangat kompetisi.

Keputusan untuk menghentikan lomba puisi memiliki dampak yang signifikan, tidak hanya bagi dunia sastra tetapi juga bagi Olimpiade secara keseluruhan.

Sejak saat itu, Olimpiade semakin terfokus pada olahraga, dan hubungan antara seni dan atletik yang diimpikan Coubertin perlahan-lahan memudar.