Lebih lanjut Hadza menjelaskan, seiring dengan berjalannya waktu, kucing tidak lagi dianggap sebagai hewan penting seperti pada zaman Kekaisaran Ottoman.
Di era awal Republik Turki, kucing dan hewan jalanan lainnya dianggap sebagai masalah potensial bagi kesehatan masyarakat. Hal ini terjadi seiring dengan adanya tren modernisasi sehingga memunculkan tren untuk mencintai kucing dari jauh.
Namun kemudian perhatian masyarakat Turki terhadap kucing meningkat ini. Hal ini ditandai dengan gagasan pembangunan antroposentris tidak boleh mengabaikan apalagi merusak kesejahteraan spesies lain. Jadi ketika isu ini diperkenalkan di dunia barat, masyarakat menyadari bahwa melindungi hak-hak hewan sama pentingnya dengan melindungi hak asasi manusia.
Sebab, bagaimanapun, manusia dan makhluk hidup lainnya hidup di biosfer yang sama. Itulah sebabnya isu hak-hak hewan memasuki perdebatan politik dan definisinya terus berkembang.
Kebangkitan hak-hak hewan di Turki berkaitan dengan Eropanisasi Turki. Karena Turki bercita-cita menjadi bagian dari Uni Eropa, maka Turki banyak mengadopsi standar Uni Eropa dalam banyak aspek. Termasuk mengenai isu hak-hak hewan dan kesejahteraan hewan.
Legalisasi kesejahteraan hewan dan formalisasi perawatan hewan berujung pada politisasi perawatan hewan dari budaya perawatan menjadi politik perawatan.
“Jadi ini adalah salah satu argumen inti saya untuk penelitian ini. Bahwa Turki telah memiliki budaya kepedulian sebagai sebuah norma di antara masyarakat Turki dan tertanam dalam budaya Turki. Ketika perubahan Eropa terjadi, budaya kepedulian ini berkembang menjadi politik kepedulian,” papar Hadza.
Seiring dengan berkembangnya politik kepedulian, hal ini menjadi jauh lebih ideologis. Banyak aktivis lingkungan hidup dan politisi sayap kiri di Turki yang sangat gigih dalam mengadvokasi hak-hak hewan.
Gerakan ubu memastikan setiap hewan dilindungi dan bisa mendapatkan perlakuan yang sama. Hak-hak hewan di Turki sendiri dilindungi oleh UU Perlindungan Hewan No. 5199 sebagai UU dasar perlindungan hak-hak hewan di Republik.
Namun amandemen terakhir UU tersebut di tahun 2024 memunculkan kontroversi karena berbicara tentang pembunuhan (eutanasia) pada anjing liar. Hadza menjelaskan bahwa dalam peraturan itu nama anjing disebutkan, tetapi kucing tidak disebutkan sama sekali.
Penyebabnya adalah kucing dianggap kurang agresif dan lebih ramah terhadap manusia. Kucing lebih diistimewakan dan punya lebih banyak hak dalam aspek tersebut.