Nationalgeoraphic.co.id—Fosil biji purba seukuran jeruk nipis modern ditemukan di pedalaman Kalimantan. Fosil biji raksasa ini termasuk biji terbesar dalam catatan fosil yang ada hingga saat ini.
Penemuan fosil biji raksasa dapat memberikan wawasan baru tentang evolusi hutan hujan Asia Tenggara dan Australia yang beragam saat ini, menurut para peneliti Pennsylvania State University (Penn State) yang mengidentifikasi tanaman tersebut.
Mereka menemukan bahwa fosil tersebut merupakan genus legum yang kini telah punah. Tanaman yang dulu hidup di Asia Tenggara ini berkerabat dekat dengan Castanospermum modern, yang dikenal sebagai pohon kacang hitam.
Pohon itu kini hanya ditemukan di hutan hujan pesisir Australia utara dan pulau-pulau tetangga. Tim peneliti tersebut, yang juga mencakup para ahli paleontologi yang bermarkas di Indonesia, Kanada, Inggris Raya, dan tempat lain di Amerika Serikat, telah melaporkan hasil temuan mereka itu di International Journal of Plant Sciences.
Fosil biji raksasa yang ditemukan di Kalimantan Indonesia tersebut berasal dari periode Eosen sekitar 34 hingga 40 juta tahun yang lalu. Mereka menunjukkan bahwa nenek moyang pohon kacang hitam bermigrasi dari Asia ke Australia selama tumbukan lempeng tektonik yang menyatukan kedua daratan dan memungkinkan terjadinya pertukaran tumbuhan dan hewan antarbenua.
Tabrakan lempeng tektonik Asia Tenggara dan Australia, yang dimulai sekitar 20 juta tahun lalu dan berlanjut hingga saat ini, menyebabkan pertukaran spesies tumbuhan dan hewan yang besar antara daratan, kata para ilmuwan.
Penemuan fosil biji raksasa ini memberikan bukti makrofosil pertama tentang garis keturunan tumbuhan yang berpindah dari Asia ke Australia setelah tabrakan tektonik Asia-Australia, kata para peneliti. Fosil tersebut juga merupakan fosil legum tertua -- famili kacang-kacangan -- dari Kepulauan Melayu dan catatan fosil pertama di mana pun tentang tumbuhan yang terkait dengan pohon kacang hitam.
"Fosil biji ini menunjukkan bahwa kerabat purba Castanospermum bermigrasi ke Australia dari Asia Tenggara selama peristiwa tabrakan tektonik dan kemudian punah di Asia," kata Edward Spagnuolo, seorang mahasiswa doktoral di Departemen Geosains di Penn State yang menjadi penulis utama penelitian tersebut, seperti dilansir laman Penn State.
Temuan tersebut bertentangan dengan sebagian besar bukti makrofosil langsung yang ada untuk migrasi tumbuhan, yang mewakili garis keturunan yang berpindah dari Australia ke Asia.
Menurut para ilmuwan, kurangnya bukti langsung mengenai pergerakan dari Asia ke Australia setidaknya sebagian disebabkan oleh catatan fosil tumbuhan yang buruk di Kepulauan Melayu, yang meliputi Filipina, Indonesia, Timor Timur, Papua Nugini, dan sebagian Malaysia.
Baca Juga: Mengenal Ragam Tumbuhan Kalimantan Lewat Kuliner: Ada Buah 'Avatar'
"Sangat sulit untuk mengumpulkan fosil di bagian dunia ini. Sebagian besar batuan permukaan hancur oleh hujan tropis yang lebat atau tertutup oleh tumbuhan, pertanian, dan bangunan, jadi hanya ada sedikit tempat untuk mencari fosil selain dari paparan tambang dan penggalian," kata Spagnuolo.
"Infrastruktur paleontologi juga sangat sedikit. Kami beruntung memiliki kemitraan dengan ahli paleontologi Indonesia di Institut Teknologi Bandung di Jawa, yang memungkinkan pekerjaan ini," imbuhnya.
Sebuah tim peneliti internasional, termasuk Peter Wilf, profesor geosains di Penn State, mengumpulkan fosil pada tahun 2014 dari lapisan tambang batu bara di Kalimantan Selatan, Kalimantan Indonesia.
Koleksi tersebut meliputi tiga biji besar, sampel serbuk sari, dan sekitar 40 daun. Bersama dengan tanaman, tim tersebut juga menemukan beragam jejak fosil burung, jejak penggalian invertebrata laut, dan fosil sisa-sisa kura-kura, di antara fosil-fosil lain yang baru-baru ini diterbitkan atau sedang dalam penelitian lanjutan.
Biji-biji tersebut merupakan salah satu yang terbesar dalam catatan fosil, tidak termasuk kelapa dan beberapa palem lainnya. Mereka tumbuh dalam polong yang kemungkinan besar panjangnya mencapai 3 kaki, atau panjang tongkat bisbol, dan dapat menampung hingga lima biji, kata para ilmuwan.
Setelah kerja lapangan, fosil-fosil tersebut dipinjamkan ke Penn State, tempat biji-biji tersebut menjalani pencitraan CT scan. Spagnuolo dan Wilf menganalisis fosil kacang-kacangan tersebut secara taksonomi, mendeskripsikan karakter anatomi yang berguna untuk identifikasi, dan menemukan bahwa mereka paling mirip dengan Castanospermum modern, yang tidak memiliki perwakilan fosil sebelumnya.
"Meskipun beberapa karakteristik fosil ini tampak umum di antara genus legum, tidak ada fosil atau kelompok legum hidup selain Castanospermum yang memiliki kombinasi fitur yang sangat cocok dengan fosil tersebut," kata Spagnuolo. "Itu membuat kami yakin dengan identifikasi kami."
Fosil biji-bijian tersebut diberi nama Jantungspermum gunnellii. Nama genus mengacu pada bentuk fosil yang mirip jantung dan spermum berarti biji dalam bahasa Latin. Nama spesies ini juga diberikan untuk menghormati mendiang Gregg Gunnell, seorang paleontologis vertebrata yang sebelumnya bekerja di Duke University Lemur Center, yang memimpin perjalanan lapangan tersebut.
Legum merupakan famili tanaman berbunga yang beragam, dengan sekitar 20.000 spesies yang hidup saat ini yang mencakup banyak pohon tropis besar, kata para ilmuwan. Namun terlepas dari kelimpahan dan keragamannya dalam ekosistem modern, penemuan biji raksasa ini merupakan satu-satunya fosil legum yang pasti dari sebelum periode Neogen, interval antara 2,6 juta dan 23 juta tahun yang lalu, di daerah tropis basah Asia Tenggara.
"Daerah tropis merupakan bioma paling beragam di Bumi," kata Wilf. "Kita hanya tahu sedikit dari catatan fosil tentang bagaimana ekosistem tropis berevolusi, terutama di Asia, bahkan saat risiko kepunahan meningkat dengan cepat, dan kita kehilangan wilayah yang luas setiap tahun akibat penggundulan hutan."
Wilf menambahkan, "Kelompok paleobotani Penn State sedang menangani masalah ini di lapangan dengan rekan-rekan di beberapa negara Asia, dan fosil kacang raksasa baru dari Kalimantan merupakan contoh fantastis dari potensi penemuan itu."
Penemuan ini mengonfirmasi keberadaan legum di Asia Tenggara dan mengisi lubang kritis dalam catatan fosil, kata para ilmuwan.
"Kita memiliki catatan fosil legum yang bagus untuk sebagian besar dunia tetapi tidak untuk Asia Tenggara," kata Spagnuolo. "Penelitian kami menyoroti potensi paleobotani yang terabaikan di wilayah ini dan perlunya lebih banyak pengambilan sampel fosil di Kepulauan Melayu."
Kontributor lain dalam penelitian adalah John-Paul Zonneveld, profesor di University of Alberta, Kanada; David Shaw, ahli palenologi stratigrafi di Biostratigraphic Associates, Inggris Raya; Aswan, dosen, dan Yan Rizal, profesor madya, di Institut Teknologi Bandung, Indonesia; Yahdi Zaim, profesor, Institut Teknologi Sumatera, Indonesia; Jonathan Bloch, kurator paleontologi vertebrata, Museum Sejarah Alam Florida; dan Russell Ciochon, profesor emeritus, Universitas Iowa.
National Geographic Society, U.S. National Science Foundation, dan Penn State mendukung para peneliti yang terlibat dalam penelitian ini.