Gurun Sahara Pernah Menjadi Sabana nan Hijau, Mengapa Berubah?

By Sysilia Tanhati, Senin, 26 Agustus 2024 | 18:00 WIB
Merupakan salah satu gurun panas terbesar di dunia, Sahara pernah menjadi sabana nan hijau. Apa yang membuatnya berubah menjadi gurun? (Fraguando/CC BY-SA 4.0)

Nationalgeographic.co.id—Dataran tinggi Tassili N'Ajjer di Aljazair adalah taman nasional terbesar di Afrika. Taman nasional ini berada di Gurun Sahara. Di antara formasi batu pasirnya yang luas, mungkin terdapat “museum seni” terbesar di dunia. Lebih dari 15.000 ukiran dan lukisan dipamerkan di sana.

Sebagian karya seni itu berusia hingga 11.000 tahun menurut teknik penanggalan ilmiah. Lukisan dan ukiran itu mewakili catatan etnologis dan klimatologis yang unik dari wilayah tersebut.

Namun, anehnya, gambar-gambar ini tidak menggambarkan lanskap tandus dan gersang yang ada di Tassili N'Ajjer saat ini. Sebaliknya, karya seni tersebut menggambarkan sabana yang semarak yang dihuni oleh gajah, jerapah, badak, dan kuda nil. Seni cadas ini merupakan catatan penting tentang kondisi lingkungan masa lalu di Sahara, gurun panas terbesar di dunia.

Gambar-gambar ini menggambarkan periode sekitar 6.000-11.000 tahun yang lalu yang disebut Sahara Hijau. “Gurun Sahara Hijau juga dikenal sebagai periode Lembap Afrika Utara,” tulis Edward Amstrong di laman The Conversation.

Terdapat bukti klimatologis yang luas bahwa selama periode ini, Sahara mendukung ekosistem sabana berhutan. Juga ekosistem sungai serta danau di wilayah yang sekarang disebut Libya, Niger, Chad, dan Mali.

Penghijauan Sahara ini hanya terjadi sekali di masa lalu. Dengan menggunakan sedimen laut dan danau, para ilmuwan mengidentifikasi lebih dari 230 penghijauan. Penghijauan tersebut terjadi sekitar setiap 21.000 tahun selama 8 juta tahun terakhir. Peristiwa penghijauan ini menyediakan koridor bervegetasi yang memengaruhi distribusi dan evolusi spesies. Termasuk migrasi manusia purba ke luar Afrika.

Penghijauan dramatis ini membutuhkan reorganisasi sistem atmosfer skala besar untuk membawa hujan ke wilayah yang sangat kering ini. Namun, sebagian besar model iklim belum dapat mensimulasikan seberapa dramatis peristiwa ini.

Dalam penelitiannya, tim pemodel iklim dan antropolog mengatasi kendala ini. Tim mengembangkan model iklim yang lebih akurat mensimulasikan sirkulasi atmosfer di atas Sahara dan dampak vegetasi terhadap curah hujan.

Tim peneliti mengidentifikasi mengapa Afrika Utara menghijau sekitar setiap 21.000 tahun selama delapan juta tahun terakhir. Hal itu disebabkan oleh perubahan presesi orbit Bumi - goyangan kecil planet saat berputar. Hal ini menggerakkan Belahan Bumi Utara lebih dekat ke matahari selama bulan-bulan musim panas.

Hal ini menyebabkan musim panas yang lebih hangat di Belahan Bumi Utara. Udara yang lebih hangat mampu menahan lebih banyak uap air. Hal ini mengintensifkan kekuatan sistem Monsun Afrika Barat dan menggeser sabuk hujan Afrika ke utara. Hal ini meningkatkan curah hujan Sahara.  Hujan mengakibatkan penyebaran sabana dan padang rumput berhutan di seluruh gurun dari daerah tropis ke Mediterania. Pada akhirnya, sabana dan padang rumput menyediakan habitat yang luas bagi tumbuhan dan hewan.

Hasil penelitian juga menunjukkan sensitivitas Gurun Sahara terhadap perubahan iklim masa lalu. Hasil tersebut menjelaskan bagaimana sensitivitas ini memengaruhi curah hujan di seluruh Afrika utara. Hal ini penting untuk memahami implikasi perubahan iklim saat ini (yang didorong oleh aktivitas manusia). Suhu yang lebih hangat di masa mendatang juga dapat meningkatkan kekuatan monsun, dengan dampak lokal dan global.

Baca Juga: Zaman Jurasic, Gurun Sahara Jadi Tempat Paling Berbahaya di Bumi